Musim Pejabat Tuna Susila

Beberapa tahun terakhir ini, tepatnya hampir 8 tahun proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diliputi banyak ketidaksesuaian dalam pelbagai aspek kehidupan. Aturan hingga perilaku di luar kelaziman terus dipraktekkan dan dipertontonkan di hadapan publik. Tanpa hukum yang bersumber pada UUD 1945 dan Pancasila. Rakyat diperas, kekayaan negara dikuras. Seiring itu, nilai-nilai spiritualitas dan keagamaan menjadi hampa. Tatkala negara menjunjung tinggi kapitalisme yang liberal dan sekuler., kekuasaan telah menegaskan sistem politik yang memisah relasi agama dari negara. Prestasi terbesar dan membangggakan dari semua itu, hanya mewujud pada kerusakan personal dan sistemik. Tentu saja secara massal dan dalam persfektif negara gagal.

Wajah kekuasaan dalam kebijakan sosial ekonomi, sosial politik, sosial hukum dan lainnya, terlanjur menampilkan sorot mata dan karakter antagonis. Sampai menjadi kontradiksi dan bahkan telah memberangus norma-norma yang ada pada negara dan agama itu sendiri. Baik negara dan agama, keduanya saling dipertentangkan dan telah dimanfaatkan oleh rezim. Perilaku kekuasaan hanya untuk meraih dan menumpuk kepentingan selain keberadaban. Mengejar materi, mengabaikan kemanusiaan dan melakukan segala cara untuk memenuhi ambisi dan nafsu dunia. Tidak jarang memunculkan watak yang tak bertuhan dan menentang kehadiran Tuhan Sang Penguasa sejati.

Tanpa Kemaluan Tanpa Kehormatan

Di negeri ini, perilaku kekuasaan lebih banyak menorehkan catatan ketidakberhasilan ketimbang prestasi. Seandainya boleh dibilang lebih ekstrim, terhampar kemudharatan dibanding menggelar kemaslahatan. Kejahatan begitu rapi dan teroganisir, sementara kebaikan tercerai-berai. Manusia dengan hati nurani diam membisu sambil menggerutu melihat keadaan. Sedangkan boneka yang digerakkan oleh remote control tampil akrobatik dan lincah menghipnotis.

Selain kesalahan membangun sistem, keadaan semakin mengalami perburukan karena persoalan behavior pemangku kepentingan publik. Hukum rusak, pejabatnya jauh lebih rusak. Kekuasaan tak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat dan kehormatan negara. Hanya tersedia panggung politik yang menyuguhkan kerakusan dan keserakahan. Peluru di tangan dan tumbalnya ada pada rakyat.

Bagai dramaturgi, menampilkan hanya sekumpulan penjahat berupa pembunuh, perampok, pencoleng dan maling kelas coro. Seperti itu kehadiran pejabat ditampilkan, bukan figur dengan karakter pemimpin. Banyak pejabat yang masih bisa senyum dan bangga pada korupsinya. Ada yang arogan dan menantang meski terseret kasus dan kebijakan inkostitusional. Beberapa merasa besar dengan mempertontonkan watak pemarah dan temperamennya pada orang kecil. Ada yang harusnya mengurus masalah besar tapi lebih suka mengusik urusan kecil. Mungkin kontemplasi dari ketidakmampuannya atau melupakan kesalahannya. Beberapa kelas sosial dan profesi, termasuk intelektual dan agamawan, kerapkali secara substansi tak terhindar menjadi pelacur juga.

Tidak sedikit yang beramai-ramai teriak kebaikan sambil menyembunyikan kekejiannya. Terasa tanpa beban dan tak ada rasa bersalah. Satu hal lagi yang mirip dagelan namun sesungguhnya sangat menyakitkan. Saat institusi negara bergaya lembut dan ramah pada orang luar, namun keras pada yang ada dalam lingkungannya. Mengarahkan moncong senjata kepada saudaranya sendiri ketimbang musuh yang sebenarnya. Begitu arogan dan bengis pada yang lemah, meskipun yang telah memberinya mandat. Berlaku dan serasa bos terhadap rakyatnya, namun menjadi jongos di hadapan asing dan aseng.