Nafsu Besar Koalisi Gemuk Jokowi

Eramuslim.com

Nafsu Besar Koalisi Gemuk Jokowi

Oleh: Gde Siriana Yusuf*

DI MINGGU terakhir bulan Agustus 2021, Presiden Jokowi mengumpulkan para petinggi Parpol di Istana.

Yang menarik perhatian publik karena PAN yang selama ini berada di luar koalisi pemerintah juga ikut datang dalam pertemuan tersebut, yang dihadiri oleh Ketum dan Sekjennya.

Meskipun belum secara resmi diumumkan oleh Pemerintah, berbagai analisa telah berkembang terkait bergabungnya PAN dalam koalisi Jokowi.

Bagaimanapun juga kehadiran PAN dalam Koalisi Jokowi akan memberikan dampak sistemik dalam dunia politik Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Pilpres mendatang).

Pemerintahan Jokowi di periode kedua ditopang oleh koalisi besar PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan PPP, dengan total dukungan parlemen 427 kursi atau 74 persen suara DPR-RI.

Dengan penguasaan kursi parlemen lebih dari cukup, seharusnya tidak ada kebutuhan Jokowi untuk memperbesar lagi koalisi.

Terbukti selama periode keduanya berjalan tidak ada persoalan atau hambatan serius bagi pemerintah untuk menggolkan rancangan APBN, Undang Undang maupun pertanggungjawaban Presiden Jokowi setiap tahun.

Bahkan terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani Pandemi Covid-19 pun tidak banyak mendapatkan kritik yang substansial dari parlemen meskipun respon dan penilaian publik bernada sebaliknya, baik dari kalangan epidemiolog, kebijakan publik, mahasiswa, buruh, maupun masyarakat umum.

Secara singkat, sesungguhnya publik menyimpulkan tidak ada lagi check and balance dari Parlemen.

Dengan gambaran kekuatan koalisi di parlemen saat ini, maka isu bergabungnya PAN ke dalam koalisi Jokowi, yang membuat koalisi besar menjadi koalisi gemuk (atau koalisi obesitas), memunculkan pikiran bahwa tujuan koalisi gemuk ini untuk menguasai MPR.

Dihitung dari penguasaan jumlah kursi, dengan bergabungnya PAN dalam koalisi gemuk Jokowi, maka pemerintah Jokowi sebagai The Rulling Class telah menguasai 82 persen suara di parlemen, dan hanya membutuhkan lagi tiga kursi DPD untuk menguasai 2/3 suara MPR.

Pikiran ini bukan hal yang muncul tiba-tiba, tetapi merupakan benang merah dari isu-isu sebelumnya yang berkembang yaitu mengenai masa jabatan presiden akan diperbolehkan melewati dua periode, yang mana itu harus disahkan MPR melalui amandemen kelima.

Jika itu dianggap sulit untuk mendapatkan persetujuan MPR, masih ada titik tengah yang akan ditawarkan kepada MPR yaitu dengan memperpanjang masa jabatan Presiden, anggota DPR dan DPD dengan alasan situasi darurat Pandemi Covid-19.

Titik tengah ini sangat mungkin menghasilkan kompromi yang pragmatis karena memberikan keuntungan politik juga bagi para elit parpol dan anggota DPR/DPD yang saat ini menjabat.