Nusantara: Ibukotanya Oligarki

Oleh: Gde Siriana Yusuf*

MESKIPUN Undang-undang (UU) Ibukota Baru telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), rencana pemindahan ibukota baru tetap menyisakan banyak masalah. Seharusnya proyek ibukota baru mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat, bukan semata keinginan presiden dan elite-elite partai politik (parpol).

Pengesahan UU Ibukota Negara (IKN) oleh DPR tidak dapat dikatakan telah mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Gugatan terhadap UU Covid-19 dan UU Cipta Lapangan Kerja yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan bahwa DPR RI tidak lagi merepresentasikan suara rakyat.

Hal-hal yang prinsip dari UU ibukota baru tersebut adalah pertama, apakah UU Ibukota Baru tersebut merupakan jawaban atau solusi dari persolan Indonesia khususnya masalah ibukota Jakarta hari ini? Seperti misalnya kepadatan penduduk, ketimpangan pembangunan ekonomi, efektivitas kerja birokrasi pemerintah pusat dan keberlanjutan lingkungan.

Kalau itu masalahnya, yang dibutuhkan adalah relokasi pusat pemerintahan. Bukan memindahkan ibukota seperti yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi sekarang.

Dan sesungguhnya ide relokasi pusat pemerintahan sudah ada di era Orde Baru. Kala itu Presiden Soeharto telah merencanakan untuk merelokasi pusat pemerintahan ke wilayah Jonggol di Kabupaten.Bogor, Jawa Barat. Bahkan waktu itu telah disiapkan lahan seluas 30.000 hektare.

Konsep inilah yang juga dijalankan oleh Malaysia dengan terintegrasinya pemerintahan di Putera Jaya, yang berjarak hanya 25 km dari ibukota Kuala Lumpur, kurang lebih sama dengan jarak dari Monas ke Cibubur, di Bogor, Jawa Barat. Perbedaannya, rezim Soeharto tumbang pada Mei 1998 sebelum sempat merealisasikan Jonggol, sebagai pusat pemerintahan baru.

Sebaliknya PM Malaysia Mahatir Muhammad waktu itu mampu melewati krisis moneter 1997-1998 dan meneruskan pembangunan Putera Jaya.

Jika solusi tersebut adalah pindah ibukota atau hanya relokasi pusat pemerintahan, di mana lokasinya yang dikehendaki rakyat? Pertanyaan berikutnya, apa nama ibukota baru atau pusat pemerintahan baru tersebut? Ini tidak dapat diputuskan oleh presiden dan elite-elite parpol saja tanpa didahului oleh proses yang terbuka dan partisipatif.

Dan untuk mendapatkan legitimasi rakyat untuk memindahkan ibukota, sangat mungkin diperlukan proses panjang bertahun-tahun.

Juga harus diselesaikan dulu persoalan sosial-politik dalam hal pembelahan yang terjadi di masyarakat hari ini jika bangsa ini ingin mengambil keputusan besar. Jika hanya merupakan keinginan presiden dan elite parpol, nasib ibukota baru akan seperti ibukota baru Myanmar karena tidak didukung rakyat.