Perang Dunia 3 dan Nasib Indonesia: Tiga Catatan Kritis atas Pikiran SBY

Di samping itu, Trump juga harus mengubah pola kontrol kekuasaan, karena dukungan Putin atau kemesraan Putin atas Trump, membuat pengaruh barat selama ini harus dikurangi dan di-share kepada Rusia.

Sikap Trump melumpuhkan ISIS, yang awalnya dibesarkan Amerika untuk menghadapi pengaruh Rusia-Iran-Suriah, ternyata semakin memperburuk situasi, karena ternyata Iran dan Suriah, tanpa ISIS, semakin kuat di Timur Tengah. Jika itu terus terjadi, imperium Amerika dan Barat akan hancur di sana.

Trump melihat perlu koreksi atas sikapnya selama ini, yang berbelok dari kebijakan rezim Obama. Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani adalah simbol pengukuhan kekuasaan Amerika di Irak.

Jadi, pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani adalah pembunuhan yang terencana dan presisi. Itu adalah sebuah perang dari keharusan Amerika mempertahankan imperium kekuasaannya.

3. Hubungan dengan Indonesia.

SBY telah menulis dunia yang di ambang perang tanpa melihat apa pentingnya, sebuah kalimatpun bagi Indonesia.

Memang Indonesia mungkin tidak menarik dalam “Global Power Game”. Namun, sejarah mencatat Indonesia merdeka karena ada perang dunia kedua. Tanpa ambisi Jepang membangun imperium Asia Raya, Sukarno, dan lain-lain masih hidup di pengasingan.

Mengaitkan Indonesia bukan berarti harus menunjukkan peran Indonesia dalam perdamaian dunia atau menciptakan perang dunia. Namun, kita bisa melihat apakah perang yang kepastiannya tidak menentu itu punya manfaat bagi kita?

Situasi memanas di Timur Tengah sudah pasti akan memperburuk Indonesia, 1) harga minyak dunia pasti akan menjulang. Kita adalah net importir minyak. Rakyat akan semakin susah dengan akan naiknya BBM. 2) pertumbuhan ekonomi dunia semakin buruk. 3) Ketegangan hidup minoritas ummat Syiah membesar.

Kalau situasi memanas menjadi perang, maka yang perlu dilihat dalam analisa SBY adalah apakah ada sasaran aset (militer) Amerika yang penting di Indonesia yang akan jadi sasaran teroris global? Siapa yang akan jadi “teroris”-nya?

Apakah perang di Timur Tengah akan berkembang sekaligus dengan Laut China Selatan? Mengingat RRC merupakan “musuh Amerika” dan cenderung lebih dekat dengan Iran dan Rusia.

Apabila ini terjadi, bagaimana situasi di Indonesia?

Dalam tulisan saya sebelumnya, “Militanisme Islam dan Laut China Selatan”, saya meyakini bahwa situasi Timur Tengah akan sampai ke Indonesia, karena Islam Militan Indonesia akan memanfaatkan kekuatan-kekuatan anti RRC di Asia Tenggara yang mana mereka adalah sekutu Amerika.

Sebagai fakta, dalam rezim yang cenderung pro RRC saat ini, umat Islam tidak mengalami keuntungan politik, apalagi pemerataan ekonomi.