Perbedaan Berpoligami pada Zaman Rasulullah SAW dan Zaman Sekarang

Setelah itu, Rasulullah SAW menikahi seorang janda bernama Siti Hafshah binti Umar Khatab yang ditinggal suaminya karena wafat sekitar tahun 2-3 Hijriah. Siti Hafsah menikah dengan Rasulullah pada usia 21 tahun dan mereka menjalani kehidupan bersama selama 8 tahun.

Selanjutnya, Rasulullah menikahi wanita yang terkenal dengan kedermawanannya sehingga mendapatkan gelar Ummul Masakin (Ibunya orang-orang miskin). Wanita itu bernama Zainab binti Khuzaimah yang dinikahi pada bulan Ramadhan tahun 3 Hijriah. Masih ada beberapa wanita yang dinikahi Rasulullah, diantaranya Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayah, Zainab binti Jahsy bin Rabab, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, dan Maimunah binti Al-Harits. Selain itu, Rasulullah juga memiliki 2 budak wanita, yaitu Mariyah Al-Qibtiyah dan Raihanah binti Zaid Al-Quradziyah.

Setelah mengetahui 13 wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, dapat diketahui di antara wanita tersebut sebagian besar adalah seorang janda dan ada pula seorang budak wanita yang dimerdekakan oleh Nabi dengan cara dinikahi.

Meskipun banyak wanita yang dinikahi Nabi, sikap beliau terhadap istrinya sangatlah mulia, seperti suka membantu pekerjaan rumah tangga, tidak pernah melukai istri, dan berperilaku adil terhadap para istrinya. Alasan Rasulullah SAW melakukan poligami adalah dengan tujuan yang baik, yaitu untuk meringankan penderitaan, menaikkan derajat, dan menjaga dari fitnah kaum musyrik.

Namun sangat disayangkan, berpoligami pada zaman Nabi dan zaman sekarang sangat berbeda. Ketika Rasulullah berpoligami, akhlak yang beliau lakukan terhadap istrinya adalah bukti bahwa Rasulullah sangat memuliakan wanita. Berbeda dengan saat ini, tak jarang laki-laki melakukan poligami hanya untuk memuaskan nafsunya dan kemudian tidak bisa berbuat adil terhadap istrinya.

Pada dasarnya, poligami tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada syarat-syarat tertentu yang diatur, baik dalam hukum Islam maupun hukum negara. Setiap negara pasti memiliki aturan tersendiri mengenai poligami.

Di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan memiliki prinsip poligami sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisi bahwa hukum Indonesia hanya membolehkan satu kali pernikahan untuk setiap orang. Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, bahwa pengadilan mengizinkan seorang suami memiliki istri lebih dari satu (poligami) dengan beberapa syarat, diantaranya seorang suami mendapatkan persetujuan dari istrinya, mengajukan permohonan ke pengadilan di wilayahnya, menjamin bahwa seorang suami dapat menghidupi istri dan anak-anaknya, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.

Dalam hukum Islam juga terdapat beberapa syarat dan aturan sesuai syariat dalam menjalankan poligami, yaitu bersikap adil (tidak boleh berpihak kepada salah satu istrinya saja), tidak boleh lalai dalam beribadah, suami diwajibkan untuk menjaga kehormataan para istri, siap menafkahi lahir dan batin, dilarang memilih wanita yang bersaudara, dan seorang suami hanya diperbolehkan memiliki 4 orang istri.

Berdasarkan uraian di atas, menurut saya terdapat dua penyebab terjadinya poligami di zaman sekarang. Pertama, ketika suami merasa mampu berlaku adil dalam memberikan kasih sayang dan nafkah. Kedua, ketika suami merasa tidak mampu menahan godaan dari wanita lain, serta istrinya tidak dapat memiliki keturunan, hal ini sering terjadi di lingkungan masyarakat.[kumparan]

Penulis: Nur Aisyah Hanum (Mahasiswi Universitas Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga)