Pergeseren Geopolitik Afghanistan dan Asia Tengah Paksa AS dan Blok Barat “Hilang Dari Peredaran”

Melalui pernyataannya yang merefleksikan kemarahan terhadap Presiden Biden, Rubin mengatakan: “Dengan membiarkan China bergerak maju mewujudkan kepentingan nasionalnya di Afghanistan, pada saat yang sama Joe Biden telah memutus sarana bagi India untuk mengakses Asia Tengah. Dengan demikian inkompetensi Biden pada perkembangannya bisa memicu Perang Dunia III.

Alastair Crooke selanjutnya menulis, para akademisi berhaluan keras atau hawkist di Washington seperti Michael Rubin, tetap bersikukuh bahwa AS harus melemahkan pengaruh Rusia dan China dengan aksi destabilisasi terhadap Asia Tengah. Sehingga mengerahkan pasukan militer ke Afghanistan harus tetap diteruskan. Dengan demikian perang berlangsung terus, perdagangan senjata jalan terus di Afghanistan.

Rubin mengakhiri kesimpulannya dengan mengatakan bahwa Biden bukannya membendung gerak laju China ke Afghanistan, malah memberi ruang pada negara tirai bambu tersebut.

Tom Tugendhat, ketua sub-komite bidang luar negeri parlemen Inggris, juga mengecam kesalahan strategis Joe Biden. Harusnya Biden tidak menyerah dan tetap secara gigih mempertahankan pasukan militer AS dan NATO di Afghanistan.

“Ini bukan soal Afghanistan, melainkan kepentingan kita semua. Kita sedang menghadapi sebuah tantangan bagaimana dunia internasional bekerja. Kita melihat kekuatan otokratik China dan Rusia menantang aturan main yang sudah berlaku, dan membatalkan kesepakatan yang sudah kita buat bersama.” Begitu tulis Tom Tugendhat.

Namun demikian, seperti digambarkan Alistair Crooke, para hawkist atau kelompok berhaluan keras di Washington sebenarnya mengakui bahwa harapan seperti Rubin atau Tagendhat bahwa superioritas militer AS-NATO dipertahankan di Afghanistan, sudah tak mungkin terulang kembali. Kekalahan AS di Afghanistan  merupakan kekalahan paradigma, begitu kesimpulan umum para pakar haluan keras Washington.

Pada bagian lain artikelnya, Alistair Crooke menyorot kegagalan komunitas intelijen Barat mendeteksi dinamika geopolitik Afghanistan baik di dalam negeri maupun dinamika hubungan Taliban dengan negara-negara lain seperti Rusia dan China. Termasuk langkah-langkah strategis yang ditempuh Taliban berunding dengan ragam suku di negeri tersebut.

Menariknya lagi, Iran dalams strategi politik luar negerinya dalam menjalin hubungan erat dengan negara-negara Islam lainnya, selalu melibatkan kemitraan strategis bersama  China dan Rusia. Permainan domino kedua negara adikuasa pesaing AS inilah yang tidak terbaca implikasinya, sehingga tiba-tiba saja Afghanistan dengan kemenangan Taliban, muncul sebagai pusat keseimbangan baru di Asia Tengah.

Maka tak heran ketika dalam masa peralihan kekuasaan dari pemerintahan Ashraf Gani ke pemerintahan Taliban, China dan Rusia segera menggelar latihan militer bersama yang berlangsung di sebelah Utara Afghanistan. Pengaruh AS nampaknya semakin runyam dengan penolakan Pakistan terhadap permintaan AS untuk menggunakan wilayah kedaulatannya untuk kehadiran militer AS.

Satu lagi truf China dan Rusia, Iran diundang untuk bergabung dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang implikasinya, Iran pun akan diajak bergabung dalam Forum Ekonomi Eropa-Asia, yang juga dimotori China dan Rusia. Yang tentunya hal ini memberi ruang manuver bagi Iran dalam bidang ekonomi dan perdagangan, yang selama ini terkena sanksi ekonomi dan embargo dari blok Barat.

Saat ini China dan Rusia sudah mengakui pemerintahan baru Afghanistan. China kemungkinan akan membangun jalur pipa minyak yang rute lintasannya melewati lima negara. Untuk memasok minyak Iran ke China lewat sebelah Utara Afghanistan. Bahkan ada kemungkinan akan membangun jalur pipa minyak lewat koridor utara-selatan, menghubungkan St Petersburg via Afghanistan menuju pelabuhan Chabahar, Iran, yang terletak di seberang Selat Oman.