Reuni 212, Antara Politis dan Perlawanan Umat Islam

Habib Rizieq Sihab (HRS) terpaksa hijrah ke Makkah, setelah diganjar 17 kasus. Rumornya, istrinya pun mau dijadikan tersangka. Entah kasus apa. Itulah alasan HRS keluar dari Indonesia.

Pertanyaan sederhananya: apakah mereka diam? Sepertinya tidak. Mereka melawan. Dengan cara apa? Mengganti presiden di pilpres 2019. Hanya ini peluang konstitusional yang mereka miliki. Jika mereka selama ini merasa dihajar dengan kasus hukum, maka mereka melawan dengan jalur politik. Demokrasi jadi sarananya, yaitu pilpres 2019. Mereka akan all out melakukan perlawanan. Ini pertarungan hidup mati HRS cs. Menang, mereka merdeka. Kalah? Entah apa yang akan terjadi pada nasib mereka kedepan. Mungkin lebih buruk.

Berarti mereka bekerja untuk memenangkan Prabowo dong? Tidak. Mereka hanya ingin mengalahkan Jokowi. Hanya saja, Prabowo saat ini jadi lawannya. Itu faktor kebetulan. Siapapun yang jadi lawan Jokowi, mereka akan dukung. Tentu dengan catatan. Apa catatannya? Orang itu tidak seperti, -atau antitesa dari- Jokowi. Soal apanya? Keadilan hukum buat semua, serta kedaulatan NKRI. Itu diantara catatannya. Inilah yang dimaksud dengan perjuangan moral. Soal dukung mendukung, itu tak lebih dari sarana belaka.

Istana sadar itu. Maka, diadakanlah kompromi. Poros Jakarta dan Saudi berjumpa. Dialog dan buat kesepakatan-kesepakatan. Untuk apa? Meredam poros Saudi (Jeddah-Makkah), dan mengamankan kemenangan pihak istana di pilpres 2019. Sayangnya, kesepakatan itu tak jalan. Alias gatot, gagal total.

Pimpinan 212 gagal diajak kompromi. Perlawanan berlanjut. Pilpres 2019 jadi ajang pertempuran. Legal, konstitusional, prosedural dan demokratis.