Terlarang Mengkritik Penguasa, Mereka ‘Maha Benar’

Drirektur Pelaksana Institute For Criminal Justice Reform (ICJR)Erasmus Napitupulu menilai jika nantinya RKUHP disahkan oleh DPR dan Pemerintah, akan berpotensi mengekang hak warga sipil dalam berekspresi, contoh seperti kritik yang dilakukan oleh ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang memberi “kartu Kuning” pada Presiden, bisa terjerat pasal 263 ayat 1. “Sebelum RKUHP diketok palu dan disahkan maka sebaiknya pasal-pasal mengenai lesse majeste yang akan mengekang hak-hak warga sipil dalam berekspresi dihapuskan. Agar pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat represi penguasa,”Ujar Erasmus kepada kompas.com, Minggu (4/2/2018).

Tampak jelas dalam system demokrasi UU dibuat bukan untuk kepentingan rakyat malainkan untuk kepentingan penguasa. UU dijadikan legitimasi bagi rezim yang anti kritik untuk melanggengkan syahwat kekuasaannya,bukan untuk melindungi rakyat tapi justru menjadikan rakyat sebagai tumbal akibat diterapkannya UU yang tidak pro rakyat dan membungkam daya kritis masyarakat. Maka dapat dipastikan dimasa yang akan dating akan banyak orang dibui akibat mengkritisi penguasa.

Berbeda dalam Islam dimana hakakat penguasa adalah pengurus ( ra’in) dan perisai (Junnah) bagi rakyat yang membutuhkan nasehat agar terhindar dari perbuatan yang tidak adil dan zhalim kepada rakyatnya. Karena seorang penguasa(Khalifah) bukanlah orang yang diistimewakan, ia hanyalah manusia biasa yang mengemban amanah sebagai pelayan bagi rakyat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Dan menjadi kewajiban bagi rakyat untuk melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia menyimpang dari ketentuan syariat Islam.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, kisah khalifah Umar bin Khaththab, ra yang telah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi pemberian mahar. Wanita itu membacakan firman Allah SWT, “ Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dari istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (TQS. An-Nisa’ : 20).

Mendengar teguran itu Umar ra berkata: “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru”. Wanita tersebut berani mengoreksi khalifah karena dijamin hak dan kewajibannya dalam Islam. Begitu juga dengan Umar ra pun menyadari bahwa menjadi kewajiban penguasa untuk mendengarkan dan melayani urusan rakyatnya. Selain itu menjadi kewajiban seorang muslim untuk beramar ma’ruf nahi munkar termasuk pada penguasa, tujuannya tidak lain agar terpelihara urusan umat serta terlindungi dari ketidakadialan dan kezhaliman penguasa.

Bahkan aktivitas mengoreksi penguasa ini mendapat gelar “ Penghulu Syuhada”. “ Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim) membunuhnya” ( HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al- Mu’jam al-Awsath. Maka malapetaka negeri ini jika daya kritis masyarakat dibelenggu oleh penguasa. Karena berakibat pada kesewenang-wenangan dan ketidakadilan serta terbengkalainya urusan rakyat, karena pada akhirnya rakyat yang kritis siap-siap dibui. Dan jika DPR berhasil memasukkan pasal penghinaan tersebut kedalam RUUKUHP, maka pastilah akan terwujud suatu rezim anti kritik.[]

Penulis: Suma’iyah, SE