Ubedilah Badrun dan Kewarasan Nasional

Di era Orde Baru, narasi kurikulum pendidikan adalah meningkatkan daya saing. Hari ini narasinya kewirausahaan. Yang terjadi milenial dan Gen Y berlomba-lomba jadi youtuber. Yang anak orang kaya sibuk bikin café. Belajar serius menjadi nomor dua, yang penting bikin konten. Sebagian lain kecanduan Tik-Tok.

Fenomena ini berdampak pada hilangnya kewarasan nasional. Pemerintah mewacanakan proyek-proyek baru, meskipun tidak fisibel tetap dipaksakan berjalan dan dampaknya keuangan negara semakin bertumpu pada utang.

Developmentalisme yang sudah usang karena menyebabkan negara berkembang bergantung pada impor, seperti terjadi di negara-negara Amerika Latin yang melahirkan gagasan industrialisasi substitusi impor dengan tujuan menggantikan barang-barang impor dengan produksi domestik, di Indonesia justru didaur ulang menjadi infrastrukturisme yang mengandalkan utang dan tenaga kerja asing.

Terkait narasi-narasi kekuasaan di atas, Ben Anderson menjelaskan konsepsi Jawa tentang kekuasaan sebagai entitas riil yang meng-“ada” secara mandiri yang dikonstruksi dengan konsep wahyu alam semesta. Konsep ini memiliki peranan yang menentukan dalam relasi raja-kawula yaitu untuk memperkokoh kuasa raja, dan sekaligus menjelaskan posisi orang yang memerintah dan yang diperintah. Raja selalu benar dan yang salah pasti kawula.

Secara kultural konsepsi raja-kawula masih berlangsung meskipun Indonesia telah mencanangkan era 4.0. Adalah bencana jika ada yang mewacanakan presiden Indonesia dan keluarganya melakukan korupsi.

Padahal di negara-negara Asia seperti Malaysia, Korea Selatan, Jepang, India, seorang Presiden atau Perdana Menteri melakukan korupsi adalah pengetahuan yang dapat diterima akal sehat orang kebanyakan. Karena masyarakat modern seharusnya dapat melihat identitas atau topeng itu tidak tunggal.

Seorang tokoh atau figur dapat memiliki banyak topeng tergantung konteksnya. Secara umum masyarakat Indonesia akan heran jika anak pejabat tinggi hidup miskin, dan mengatakan pantas jika anak pejabat tinggi punya rumah mewah, meskipun tidak sesuai dengan laporan pajaknya.

Sebaliknya di negara-negara Eropa, adalah hal yang dianggap biasa jika anak pejabat tinggi sehari-hari bekerja sebagai supir taksi atau hidup sederhana.

Begitu pula yang terjadi pada sistem hukum Indonesia. Foucault menyatakan bahwa power atau kekuasaan merupakan suatu mekanisme yang menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan yang lebih luas.