Rumah Hallak, Saksi Bisu Hari Malapetaka Bagi Rakyat Palestina

Wihelmina Baramki, seorang perempuan warga Kristen Palestina, kini sudah berusia 73 tahun. Tapi ia masih mampu mengingat kenangan-kenangan indah tentang rumah milik keluarganya sebelum dirampas oleh rejim Zionis Israel, menyusul berdirinya negara Yahudi tahun 1948.

Dalam wawancara dengan The Guardian, edisi Selasa (6/5) Baramki menceritakan tentang rumah keluarga besarnya yang diberi nama Rumah Hallak. Nama rumah berlantai dua itu diambil dari nama kakeknya, Hanna Hallak. Di sanalah keluarga besar Hallak; kakek, nenek, paman dan bibi-bibinya tinggal dengan damai.

"Di sana, dulu banyak pohon buah-buahan. Ada pohon apple yang rindang, ada ayunan yang selalu kami mainkan, ada beranda rumah yang terbuka, di mana kami biasa duduk-duduk dengan pohon-pohon bunga di sekitarnya, " tutur Baramki mengenang rumah Hallak yang didirikan pada tahun 1930-an.

Baramki berkunjung ke Rumah Hallak setiap musim panas dan tinggal di sana bersama neneknya Farideh beserta paman-paman dan bibi-bibinya. Baramki sendiri tinggal di distrik warga Kristen Palestina Baqa, tak jauh dari dari Rumah Hallak.

"Kenangan musim panas itu sangat berarti bagi kami, " ujar Baramki.

Tahun 1948, ketika Baramki berusia 13 tahun, kedatangan pasukan Yahudi ke Talbieh menjadi mimpi buruk bagi Baramki dan keluarganya, dan keluarga Palestinanya. Peristiwa itu membuat Baramki kini hanya bisa mengenang semua kenangan manisnya di Rumah Hallak.

Ketika itu, kisah Baramki, segerombolan orang-orang Yahudi dengan menggunakan pengeras suara memerintahkan warga Palestina untuk segera meninggalkan rumah mereka. Baramki dan keluarganya, segera mengemas barang-barang mereka dan pergi mengungsi ke rumah kerabatnya yang lain, yang masih satu kota di Baqa.

"Setiap malam terdengar suara bom, setiap hari selalu sama, " Baramki mengingat kenangan pahit itu.

Baramki dan keluarganya sempat pindah ke rumah bibinya di Kota Tua Yerusalem Timur. Mereka tinggal di sana hanya beberapa hari, sampai akhirnya mereka mengungsi ke Lebanon selama satu setengah tahun. Ketika keluarga Baramki berkesempatan kembali ke Yerusalem Barat dan berkunjung ke Talbieh dan Baqa, keluarga menjumpai bahwa kedua distrik itu sudah di bawah kontrol sebuah "negara" bernama Israel.

Keluarga Baramki dilarang masuk ke rumah mereka, bahkan ke kota atau ke distrik tempat mereka pernah tinggal. Israel menganggap warga Palestina itu, tidak ada dan menyerahkan rumah-rumah milik warga Palestina yang ditinggal mengungsi atau yang diusir paksa, pada para imigran Yahudi yang baru datang ke Israel. Sedikitnya, ada 700 ribu rumah milik warga Palestina yang oleh Israel diberikan secara ilegal pada para imigran Yahudi.

Rumah Hallak milik keluarga Baramki, kini ditempati oleh Reuven Tsur, orang Hungaria yang berimigrasi ke Israel bersama kedua orangtuanya ketika ia berusia 16 tahun.

"Saya hanya bisa melihat dari luar, pohon-pohon palem itu dan berkata ‘ini pasti sebuah kesalahan. tidak mungkin seindah ini, " kata Tsur ketika diwawancarai The Guardian tentang rumah milik Baramki.

Tsur dan isterinya membeli sebuah apartemen berkamar tiga, yang dulunya merupakan bagian dari rumah milik kakek-nenek Baramki. Tsur mengaku tidak pernah memikirkan siapa pemilik sebenarnya rumah yang kini ia tempati.

Namun keluarga Tsur mengatakan bahwa mereka akan menyerahkan apartemen mereka di Rumah Hallak jika perdamaian benar-benar datang dan keluarga Tsur diberi ganti apartemen yang sama.

Rumah Hallak milik keluarga Baramki, menjadi saksi sejarah berdirinya negara Yahudi Israel dengan cara merampas tanah, rumah dan harta benda milik warga Palestina pada tahun 1948. Gerombolan Yahudi itu mengusir warga Palestina dari rumah-rumah mereka, sehingga banyak dari mereka yang hingga kini menjadi pengungsi dan tersebar ke berbagai negara.

Warga Palestina, setiap tanggal 15 Mei memperingati hari pengusiran itu sebagai Hari Nakba atau Hari Malapetaka. Karena pada hari itulah, orang-orang Yahudi Zionis membangun sebuah "negara" bernama Israel di atas puing-puing kehancuran rakyat Palestina.

"Ini tanah kami. Kami berhak kembali ke rumah kami, " kata Wihelmina Baramki. (ln/iol)