Revolusi Moral Amien Rais

Rezim ini menampilkan kebohongan yang sudah menjadi industri. Rezim sangat menyukai kepalsuan dan bahkan terjangkit sindrom keraja-rajaan sehingga berkostum dan bertingkah bak raja-raja. Raja bohong dipuja-puja. Di masyarakat lahir new culture yaitu budaya tipu-tipu, cheating culture and lie culture.

Fenomena ketakutan berlebihan terhadap Islam menjalari rezim. Islam sengaja dipotret sebagai momok menyeramkan yang harus diberantas.

Media yang seharusnya menjadi the fourth pillar of democracy luntur karena lunturnya idealisme. Media malah menjadi pelayan penguasa dan menjadi bagian dari industri kebohongan. Tak heran kalau kemudian masyarakat kehilangan kepercayaan kepada media arus utama dan beralih ke media sosial.

Sekaranglah saatnya mengucap selamat tinggal kepada revolusi mental yang tidak jelas konsepnya. Selamat datang revolusi moral yang bersumber dari nilai-nilai keilahian.

Natalius Pigai :

Saya termasuk korban media arus utama, tidak boleh wawancara saya sampai selesai pilpres. Saya tidak biasa memproduksi kebohongan di depan publik.

Pak Amien mengubur revolusi mental dan memunculkan konsep revolusi moral yang lebih bermartabat dan berdaulat. Ketika dengar revolusi mental saya kaget. Darimana dia bisa memunculkan ide itu. Dia bukan orang filsafat dan bukan orang politik kok tahu revolusi mental dari mana?

Secara referensi saya sudah menguasai teori. Revolusi mental lebih ke arah praktik kerja. Dunia pendidikan, keterampilan, mentalitas, mental kerja, jujur, rajin, tidak rakus. Untuk mengubah Indonesia harus mengubah moralitas yang berdadar pada nilai-nilai ketuhanan dari Kitab Suci. Membangun Indonesia dengan nilai spritualitas adalah keniscayaan. Jadi jangan alergi dengan spritualitas. Pancasila adalah nilai moralitas karena ada sila pertama ketuhanan sebagai sumber moralitas.

Revolusi mental itu hanya ada pada level praksis pekerja tukang. Harus ada perubahan mental mindset melalui revolusi moralitas. Kita pikir waktu itu ada kerangka filosofis atau kerangka berpikir. Tapi tidak pernah ada karena tidak original dari Jokowi. Perbuatan nyata adalah ekspresi jiwa dari seseorang. Kenapa gagal? karena bukan ekspresi jiwanya, tidak orisinal dan karenanya gagal.

Saya ikuti dari masa ke masa, saya simpulkan bahwa pada 2016 Jokowi sudah takut bicara revolusi mental. Siapa pusat kebohongan dengan segala instrumennya. Salah satu instrumen kebohongan adalah media. Media besar di Palmerah menulis Jokowi bangun jalan tol di Papua, padahal itu kampung saya, tidak ada pembangunan itu. Media besar hanya menjadi artikulator dan akselerator kepentingan penguasa melalui framing.

Islam menjadi salah satu korban framing digambarkan sebagai ekstrem kanan. Kekuatan ini diberangus untuk menghancurkan pilar civil society.