Meneladani Orang Cina Dalam Belanjakan Uang

Eramuslim.com – Suatu siang, seorang CEO sebuah publishing di Jakarta bercerita tentang masa remajanya di kampung halamannya di Pekalongan, Jawa Tengah. “Sejak dulu banyak warga Arab di Pekalongan. Usaha yang banyak mereka tekuni adalah bidang furniture. Di Pekalongan, rata-rata pengusaha furniture itu orang Arab. Tapi tentu saja ada juga satu-dua orang Cina yang juga punya usaha furniture di sana. Di Pekalongan, orang Cina juga banyak. Kita semua hidup dengan damai, sejak dulu sampai sekarang. Tapi ada fenomena menarik, orang-orang Cina di Pekalongan dan sekitarnya, selalu membeli furniture untuk rumah dan kantor-kantor yang mereka miliki dari pengusaha furniture Cina Pekalongan lainnya. Tidak pernah mereka membeli dari orang Arab. Kita sebenarnya bisa mencontoh mereka dalam membelanjakan uang, dengan hanya membelanjakan uang ke orang-orang kita sendiri.”

Pengalaman sahabat saya itu ternyata juga sama dengan yang terjadi di sebuah perusahaan besar, mentereng, yang ada di timur Jakarta, yang dimiliki salah satu taipan papan atas negeri ini. Sudah menjadi pengetahuan umum seluruh karyawan di sana, jika mau membeli sesuatu untuk keperluan kantor, maka harus membelinya di supermarket atau toko yang juga dimiliki oleh orang Cina. Bahkan untuk membeli satu kotak tissue, harus seperti itu.

Ada satu pengalaman seorang karyawan di sana yang kehabisan tissue dan ternyata bagian gudang pun kehabisan stok. Karyawan ini kemudian membeli sekotak tissue di warung kecil di pinggir jalan. Tak lupa dia meminta bon agar uangnya bisa di-reimburse. Namun ketika sampai di kantor, petugas di bagian gudang menyatakan uang karyawan yang tidak seberapa itu tidak bisa di-reimburse hanya gegara membelinya di toko pinggir jalan, bukan “di toko yang biasa”. Itu cuma untuk sekotak tissue!

Cara-cara seperti ini, selektif dalam membelanjakan uang hanya kepada bangsanya sendiri, juga sudah lama dilakukan oleh orang Yahudi.

Seorang sahabat, pengusaha yang sering bepergian ke luar negeri, bercerita tentang pengalamannya di New York, AS. Suatu siang, sehabis lunch di sebuah kedai di pinggir jalan di kota Big Apple tersebut, dia memperhatikan seorang kakek yang berdiri lama di pinggir jalan di dekat rambu penyetopan taksi. Beberapa taksi yang kosong sudah memberi isyarat padanya, tapi si kakek itu tidak mau juga naik. Dengan penasaran, pengusaha asal Indonesia ini berjalan menghampiri sang kakek dan bertanya, “Kakek mau naik taksi?”

“Iya, saya mau memberhentikan taksi…,” jawabnya.

“Tapi bukankah sudah banyak taksi kosong yang tidak kakek berhentikan, dan dibiarkan lewat?”

Si kakek itu tertawa, “Saya hanya mau naik taksi yang dimiliki pengusaha Yahudi.”

“Tapi bukankah di sini panas? Kakek sudah lama menunggu…”

“Tidak apa-apa. Ini pengorbananku untuk saudara-saudaraku…”

Si pengusaha itu terdiam dan merenung.

Andaikata umat Islam yang banyak itu meneladani orang-orang Yahudi, dan juga orang Cina, yang sangat selektif dalam membelanjakan uangnya, betapa dahsyat hasilnya dalam membangun umat tauhid ini dalam sektor perekonomian.

Dr. Yusuf Qaradhawy pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam membelanjakan uangnya ke pihak Zionis, dan mewajibkan orang Muslim hanya membelanjakan uangnya ke saudara-saudaranya sendiri. Namun gaung ini kurang didengarkan agaknya.

Jangankan masyarakat awam, para aktivis Islam saja banyak yang tidak peduli dengan jihad ekonomi ini. Mereka selalu ambil gampangnya dan tidak mau berkorban seperti halnya kakek yahudi di New York di atas.

“Ngapain susah-susah belanja, toh jumlahnya tidak banyak.”

“Ngapain nyusahin diri sendiri….”

Itu sedikit dari sekian banyak dalih agar nurani tak berontak tatkala kita membelanjakan uang kita ke kantong orang lain.

Nah, bagi yang mau memulai meneladani orang Cina dan Yahudi dalam berbelanja, mulailah membeli barang-barang kebutuhan harian di warung-warung saudara-saudara kita di sekitar rumah. Mahal sedikit, itu anggap saja sedekah yang tidak akan hilang dan kelak akan kembali kepada kita berlipat-lipat di hari akherat kelak.

Jika ingin membeli baju atau sepatu, belilah di sentra-sentra grosir yang bertebaran di mana-mana, pilihlah toko atau produk yang dihasilkan oleh saudara-saudara kita.

Kita bukannya rasis. Tapi kita hanya mencontoh orang-orang Cina dan Yahudi dalam membelanjakan uangnya.

Bukankah begitu? []