Pelangi Retak (Bag. 24)

“Li, aku bahagia sekali ketika kemarin aku menelpon ke kantormu. Operator bilang kamu sudah lama resign karena menikah. Kamu telah berhasil menggenapkan separuh agama. Aku malu padamu, Li! Laki-laki yang kukcintai ternyata hanya menginginkan tubuhku…”

Hilma terdiam lagi. Isaknya semakin keras. Aku sengaja tak menyela ceritanya sedikitpun. Hanya tanganku yang kemudian bergerak merangkul tubuhnya yang terguncang isak tangis…

“Dia telah membuatku tak mungkin menikah lagi untuk selama-lamanya…”

“Maksudmu…?” kerongkonganku mulai tercekat.

“Mas Indralah yang menularkan virus HIV itu. Mas Indralah yang mengambil semua yang pernah kumiliki…”

Apa, Hil? Kamu nggak salah ucap kan?
Jadi… inilah sebabnya kenapa selama ini Mas Indra tak pernah menyentuhku sebagai seorang isteri?

Jantungku tiba-tiba serasa tersayat ribuan sembilu lalu luka yang tercipta itu disiram air cuka. Darahku seakan berhenti mengalir karena alat pemompanya tak mampu lagi bekerja… Sesak! Pedih! Perih!

“Li…aku memang tidak pernah cerita ke kamu kalau kami pernah bertemu beberapa kali setelah atasanku itu entah pergi ke mana. Dan aku yakin, saat ini dia masih di Jakarta. Jadi seandainya suatu saat kamu bertemu dia, kamu harus menjaga rahasia ini, Li! Bersikaplah biasa. Jangan pernah membencinya. Semua tak hanya salahnya, tapi juga salahku. Mungkin itu adalah hukuman Allah padaku. Dan alhamdulillah… akhirnya aku berhasil menemukan hikmah dari semua ini…”

Aku tak lagi mampu mendengar kalimat-kalimat Hilma yang terakhir. Jantungku rasanya sudah berhenti berdenyut. Ada perih yang menusuk begitu tajam di uluh hatiku, karena separuh cinta yang tumbuh subur di sana seperti dipaksa untuk tercerabut dari akarnya.

Kenapa mas Indra begitu kejam? Kenapa dia memilihku untuk mendampinginya? Mungkinkah aku hanya akan menjadi sepotong boneka yang dipajang di etalase toko. Setiap orang akan mengiraku seperti ratu yang hidup dalam kemewahan. Begitu dilindungi bahkan dari gigitan nyamuk sekalipun. Padahal, sebenarnya aku terbelenggu. Aku tak pernah bisa merasakan arti sesungguhnya menjadi seorang isteri. Aku juga tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya suamiku adalah mantan pezina. Dengan sahabatku sendiri…

Kupaksakan segaris senyum untuk Hilma. Meski perih, aku tak ingin Hilma tahu. Biarlah, cukup aku yang sakit. Hilma tidak. Dia sudah cukup menderita dengan penyakit itu. Tak akan kubiarkan Hilma semakin menderita jika harus mendengar bahwa laki-laki yang pernah dicintainya kini telah menjadi suamiku…

“Aku bangga padamu, Hil! Kamu hebat… aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik untukmu.”

“Amin…”

Hilma menghapus sisa air matanya yang sudah mulai berhenti mengalir.

“Oh iya, kamu bulan madu ke mana, Li? Pasti romantis…”

“Ah, biasa saja. Tidak ada yang istimewa…”

“Lho, kok?”

“Ah…begitulah. Tapi kami bahagia, kok. Aduh, Hil! Aku lupa, hari ini juga ada janji penting dengan orang lain! Hm…aku kan tetap kerja walau di rumah… freelance…”

Aku pura-pura kaget dan sedikit terbata sambil menatap jam di handphoneku. Sekedar untuk mengalihkan perhatiannya agar dia tak lagi menyuruhku bercerita lebih banyak lagi tentang pernikahanku.

“Yah…! Sebenarnya aku masih ingin bercerita banyak hal padamu. Kamu sendiri juga belum cerita banyak. Padahal kesempatan bertemu hanya hari ini karena nanti malam aku sudah harus kembali ke Surabaya… Ya udah, deh. Ceritanya kita lanjutkan kapan-kapan saja. Oh iya, salam untuk suamimu ya, Li!”

Aku hanya menjawab permintaan Hilma dengan senyuman terpaksa. Lalu bergegas meninggalkannya setelah mengucapkan sebait salam…

***

Beruntung aku masih bisa menahan air mataku di depan Hilma. Tapi di mobil yang sunyi ini… Aku tak mungkin membohongi diriku sendiri bahwa aku juga berhak untuk rapuh. Segera kularikan mobilku menuju rumah. Aku ingin menangis sepuasnya. Di atas ranjangku yang selalu kering. Di atas cinta yang ternyata semu. Di atas harapan yang ternyata sebentar lagi akan runtuh. Baru kusadari… bahwa ternyata aku hanya membangun kastil impian itu di atas pasir. Dan badai sebentar lagi datang. Aku hanya tinggal menunggu waktu. Kastil itu akan hanyut hingga tinggal puing-puing yang menyisakan pedih…

Cintaku ternyata tak sebesar yang pernah kubayangkan, mas. Aku ternyata hanyalah seorang wanita lemah. Sama seperti wanita lainnya. Yang tidak mungkin rela dibohongi… Aku tetap punya impian untuk bisa menjadi seorang isteri yang sesungguhnya. Aku tak menyangka, bahwa kau ternyata tega mengubur impian itu…

***

PENGGALAN 10

Brakk!!!

Ah, terlalu tergesa-gesa aku membuka pintu depan. Dan mas Indra ternyata sudah tiba di rumah lebih awal. Kulihat wajah mas Indra pucat. Ada sisa darah yang mengotori hidungnya. Aku melihat segurat keterkejutan di wajahnya.

“Li…, kok pulang cepat? Katanya mau ketemu teman lama…”

“Iya, mas… Aku…” entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Sosok itu seakan berubah menjadi orang asing yang tak pernah kukenal sebelumnya. Sedangkan kantong air mata yang tersimpan di tulang wajahku serasa akan segera meledak…

“Matamu kenapa? Kok basah?”

Ah, kenapa kau masih juga sempat memperhatikan wajahku, mas! Padahal aku tahu… kau menyimpan masalah besar dalam hidupmu.

“Uhuk! Huk!….Huk! Huk!”

Tiba-tiba mas Indra terbatuk-batuk. Cukup keras. Dan aku melihat ada segumpal darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

“Mas, kenapa?” tanyaku basa-basi. Aku belum punya kekuatan yang cukup besar untuk menanyakan semuanya sekarang.

“Li… maafkan aku!”

Ya, Allah… suara itu begitu berat. Seperti ada ribuan beban yang harus ditanggungnya. Apakah dia akan membuat semacam pengakuan? Kuatkan aku, Tuhan…

“Mas, aku sudah tahu!”

Akhirnya kukeluarkan kalimat itu. Aku tidak akan sanggup melihatnya membuat semacam pengakuan. Aku bukan hakim yang bisa tetap tegar mengadili terdakwa. Aku hanya seorang wanita yang rapuh karena merasa dibohongi oleh orang yang teramat kucintai. Dan aku tak ingin dia melihat kerapuhan itu…