Pelangi Retak (Bag. 25)

“Mak…sud…mu?” mas Indra tampak gugup. Tangannya yang mendadak kulihat begitu kurus itu menyeka keringat di dahinya.

“Aku adalah wanita yang cukup beruntung. Mas Indra memilihku untuk menjalani hari-hari terakhir mas. Makasih, mas Indra masih begitu baik dengan tidak pernah menyentuhku sebagai seorang isteri. Aku hanya kecewa… kenapa selama ini mas Indra membohongiku? Mas Indra telah membeli impianku dengan kebahagiaan semu yang menyakitkan!”

Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dengan nada sinis. Aku tak peduli apakah saat itu dia akan kecewa. Aku juga sakit, Mas!

“Li… kamu boleh mengatakan apapun. Tapi percayalah… aku benar-benar mencintaimu!”

“Tapi tidak dengan menipuku dan mengorbankan kebahagiaanku, kan?”

“Tadinya kupikir aku akan segera mati. Dan… aku ingin kamu yang mendampingiku di saat-saat terakhirku…”

“Mas Indra egois!”

“Maafkan aku, Li! Tadinya aku yakin… tak ada perempuan sebaik dirimu. Yang bisa menerimaku apa adanya. Tapi ternyata aku salah…”

Kau salah besar, mas… Cinta saja tidak cukup, bukan?

“Kalau memang perpisahan yang kamu inginkan… aku akan menceraikanmu!”

Semudah itu kau akan mencampakkanku? Kamu pikir tidak menyakitkan menyandang status sebagai seorang janda?

Li, kamu yang bodoh. Kenapa dulu kau memilihnya? Sudahlah, itu konsekuensi yang harus kamu terima…

Sekarang dia membutuhkanmu, Li. Tegakah kau meninggalkannya dalam keadaan seperti ini?

Li, kamu masih punya masa depan. Untuk apa mempertahankan seorang pengkhianat seperti dia?

Dualisme dalam pribadiku saling berebut memenangkan perasaanku. Antara ego dan moral kemanusiaan…

“Mas… apa salahku?”

Tangisku akhirnya pecah juga. Tubuhku jatuh terduduk di sofa. Kali ini aku merasa duniaku benar-benar runtuh. Cinta… kenapa kau harus ada jika hanya untuk menyakiti… Tidak! Cinta tak pernah salah. Keegoisanlah yang membuatnya kehilangan makna.

Hilma, seandainya masalah ini tidak ada hubungannya denganmu, aku ingin berbagi padamu. Aku tak sanggup memikulnya sendirian…

Kurasakan tubuh mas Indra memelukku hangat. Kehangatan itu masih sama seperti pelukan yang kemarin kurasakan… Tapi hatiku tetap saja membeku. Dingin…

“Maafkan jika aku memaksamu untuk ikut merasakan penderitaan ini, Li…”

Suara itu terdengar begitu rapuh. Ya Allah… benarkah aku sanggup meninggalkannya? Benarkah sudah tak tersisa cinta di hatiku?

***

“Mas, aku mau pulang hari ini. Mungkin di kampung aku akan lebih bisa menenangkan diri…”

“Baiklah, kalau memang itu yang kamu inginkan. Maafkan aku… Mintalah petunjuk pada-Nya. Ikuti kata hatimu. Jangan pernah merasa terpaksa…”

Aku tahu, mas. Hatimu sebenarnya tak setegar seperti yang kulihat dalam senyummu. Dan itu sudah cukup bagiku…

Mas Indra masih mengantarku ke airport. Dia memang tak lagi terbatuk-batuk seperti kemarin. Tapi aku mulai menyadari, ada yang lain di wajahnya. Aku mulai melihat rasa sakit itu…

Tak ada sepatah katapun yang kami bicarakan dalam perjalanan. Aku dan mas Indra sama-sama membisu dalam lamunan masing-masing. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas hatiku masih menyimpan kepedihan itu, meski sedikit demi sedikit ada perasaan lain yang kini menghentak-hentak di sana. Perasaan berbentuk keraguan. Aku ragu apa benar-benar bisa melupakan laki-laki itu… Laki-laki yang telah membuat otakku begitu aktifnya memproduksi oxytocine. Hormon yang membuat aku selalu membutuhkan dirinya. Tapi sejenak kemudian keraguan itu berganti kebencian yang menyesakkan.

***

Kutatap makam ibu yang sudah mulai rata dengan tanah. Ah, tak terasa. Tiga tahun sudah aku tak pernah lagi mendengar suaranya. Tiga tahun sejak aku dinyatakan lulus dari gelar kesarjanaanku.

Apalagi yang kau cari, nak?”

Ibu… itu pertanyaan terakhirmu yang tak pernah bisa kujawab. Pertanyaan terakhir yang kau lontarkan ketika aku meminta restumu untuk mengadu nasib di Jakarta. Waktu itu aku tidak pernah menyangka bahwa itu adalah benar-benar saat terakhir aku masih bisa merasakan belaian tanganmu. Dulu aku berpikir banyak sekali yang akan kucari. Tapi ternyata sampai saat ini aku tetap tak menemukan apa-apa yang bisa kubanggakan padamu…

Ah, ibu. Yang kutemukan hanyalah tempat terluas itu. Yang dulu kau pernah bilang bahwa tempat terluas di dunia ini adalah hati. Segumpal darah itu sering tak pernah bisa cukup terisi oleh apapun. Dia kadang tak pernah merasa puas meski telah terpenuhi dengan harta, tahta, cinta atau hal-hal duniawi lainnya. Tapi aku belum berhasil menemukan Sang Maha Luas dalam arti yang sesungguhnya. Yah, Sang Maha Luas yang menurutmu, hanya Dia-lah yang dapat memenuhi keluasan hati itu…

Ibu… kini anakmu berada di tengah lautan. Terombang-ambing oleh keegoisan diri sendiri. Aku tak tahu ke mana harus kudayung perahu kecilku ini. Sedangkan sisi-sisinya telah mulai retak. Dan aku akan tenggelam jika tak segera menepi. Tapi dermaga mana yang harus kutuju? Kekuatanku telah hilang… Aku kini bukan Lili yang tegar itu.

Ibu… aku ingin punya tujuan. Aku ingin punya sesuatu yang berarti. Yang pantas untuk kuperjuangkan dalam hidup ini. Entah apa itu. Cintakah? Agamakah? Atau mungkin sebuah prinsip… Tapi kini aku tak punya semua itu. Atau mungkin pernah memilikinya, hanya saja aku tak pernah mampu mendefinisikannya…

Ibu… aku rindu padamu. Lihatlah, bidadari kecilmu ini sudah dua puluh lima tahun. Namun tetap tak pernah menemukan arti dewasa. Aku lelah, ibu. Lelah. Lelah…

***

Li, ba’na kodhu ka dokter, nak! Kole’na ce’ panassa..” ujar pakde diselimuti kekhawatiran. Tangannya yang kasar mengusap keningku dengan kain basah.

Enggi, pakde. Lagguna bai…” sahutku kemudian.

“Kamu pasti kecapekan, kenapa tidak datang bersama suamimu?”

“Dia sibuk, pakde…”

Untung saja pakde tak menanyakan lebih lanjut kenapa suamiku terlalu sibuk sampai-sampai tidak bisa mengambil sendiri dokumen pernikahan yang tertinggal di kampung. Sebuah alasan yang kulontarkan ke pakde kemarin, ketika aku tiba-tiba sudah berada di rumahnya. Semoga saja dia juga tak menangkap kegelisahan dalam tatapanku.

***

“Kenapa harus tes urine segala, dok?” tanyaku heran pada dokter muda itu.

“Sepertinya ada hal lain yang menyebabkan anda pusing dan mual-mual. Sistole diastole anda normal. Jadi, saya yakin pusing itu bukan disebabkan oleh tekanan darah…”

“Tunggu sebentar, bu! Saya baca hasil tesnya…”

Aku hanya diam menunggu. Dokter itu pasti lebih tahu. Jadi aku pasrah saja pada diagnosanya.

“Berapa usia pernikahan anda, Bu?”

Aku menaikkan alis. Untuk apa dokter itu menyinggung masalah perkawinan?

“Mm… sekitar dua bulan, dok!”

“Oh ya? Selamat, bu, Anda hamil…!”

Apa? Dokter ini tidak gila bukan? Bagaimana aku bisa hamil, sedangkan suamiku tak pernah menyentuhku sedikitpun…

Catatan:

Percakapan dalam bahasa Madura.
1) Li, ba’na kodhu ka dokter, nak! Kole’na ce’ panassa.. “ artinya, "Li, kamu harus ke dokter. Badanmu panas sekali."
2) “Enggi, pakde. Lagguna bai…” artinya: “Ya, pakde. Besok saja.”