Pelangi Retak (Bag. 26)

“Dok, itu tidak mungkin. Anda pasti salah, dokter! Tolong, jangan katakan bahwa saya hamil. Anda pasti salah! Saya tidak mungkin hamil, dokter…”

Aku panik. Dokter itu menatapku keheranan. Mungkin baru kali ini ada seorang wanita yang sudah menikah justru tidak mau dibilang hamil. Bukankah itu adalah sebuah anugerah terindah bagi pasangan yang sudah menikah?

“Ibu…tenang, Bu. Anda punya masalah dalam rumah tangga Anda?”

Aku menggeleng lemah. Menyadari kebodohanku yang tidak mampu mengontrol emosi.

“Saya yakin tes ini tidak salah, Bu. Coba Ibu ingat, kapan tanggal terakhir ibu melakukannya dengan suami…”

Tatapan dokter itu mengisyaratkan kalau dia mencari sesuatu di mataku.

Ah…suatu malam di hotel De Ville dekat Notre Dame yang mewah dan indah. Malam itu aku memang begitu lelah dan mengantuk, tapi mas Indra bersikap begitu romantisnya padaku… Mungkinkah malam itu… Ya Allah…mengapa aku melupakan saat-saat itu? Aku ingat sekarang!

Tidak!! Aku memang menginginkan hal itu… tapi dengan kondisi mas Indra yang sebenarnya, hanya sesal dan benci yang ada di hatiku. Mengapa dia tega melakukannya? Bukankah tujuannya untuk menikahiku hanya untuk menemani saat-saat terakhirnya menjemput maut…

Tidak! Aku tidak boleh hamil! Takkan kubiarkan anakku mewarisi penyakit ayahnya… Takkan kubiarkan anakku menjadi seorang anak pezina… Tidak!!!

“Bu, anda tidak apa-apa bukan?”

“Saya harus tes darah sekali lagi, dok!” tukasku kemudian. Dokter itu semakin heran.

“Untuk apa?”

“Suami saya penderita AIDS, dok! Saya tidak boleh hamil. Saya tidak mau anak saya tertular penyakit ayahnya…”

Lagi-lagi aku tak mampu mengontrol emosi. Dan keluarlah kalimat itu begitu saja… Dokter itu kembali terkejut walau hanya sejenak. Dan menit berikutnya wajahnya kembali tenang.

“Baiklah, kalau itu yang Ibu inginkan. Kita akan segera melakukan tes darah sekali lagi…”

“Maaf, dok. Saya terlanjur mengatakannya. Saya harap dokter bisa menjaga rahasia ini.”

“Tenang, Bu. Itu bagian dari profesionalisme saya. Saya jamin, rahasia itu hanya kita dan Tuhan yang tahu…”

***

Menunggu hasil tes darah itu bagiku seperti menunggu kematian. Tiga malam berturut-turut aku tidak bisa tidur nyenyak. Hanya sujud-sujud panjangku tempat aku berharap kini. Aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuanku. Tapi tetap saja kegalauan itu tak mau menjauh dari otakku.

Dan pagi itu adalah pagi yang begitu menegangkan. Aku menyusuri koridor rumah sakit yang masih sepi. Perasaanku tak karuan. Kebencian di hatiku tetap saja tak mau sirna. Belum lagi ketakutan bahwa aku juga akan tertular penyakit itu. Mungkinkah aku juga akan bernasib sama seperti Hilma? Menjalani hari-harinya dengan…

“Hasil tes HIV nya negatif, Bu!”

Deg! Aku tidak tahu harus tersenyum atau menangis. Aku takut terjadi kesalahan dalam tes itu…

“Dokter tidak salah?”

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Bu. Karena saya tahu ini sangat menentukan bagi nasib kandungan Ibu. Saya yakin tesnya negatif… Jadi tidak ada masalah dalam kehamilan ibu. Jangan lupa untuk berdiskusi dengan suami ibu mengenai hal ini. Mungkin ini yang terbaik dari Allah untuk Anda berdua…”

Ya Allah…benarkah ini? Tapi mana mungkin mas Indra tidak menularkan virus itu padaku? Adakah yang masih tersembunyi… Ya Allah, izin aku mengetahuinya… Ini menentukan keputusanku…

***

Hari itu juga aku terbang ke Jakarta. Aku harus tahu semuanya. Apa sebenarnya yang terjadi.

Mas Indra masih di kantor ketika aku menelponnya dari rumah.

“Mas, ceritakan tentang penyakitmu. Sejujurnya. Jangan sampai ada yang kau sembunyikan…” pintaku di ujung telepon tanpa basa-basi lagi.

“Lili..kapan datang? Kok nggak telpon dulu. Aku kan bisa menjemput kamu di bandara…”

“Mas, jawab dulu pertanyaanku! Ini menyangkut masa depan kita…” ujarku datar. Sepertinya mas Indra tidak menangkap kegelisahanku.

“Ok, tapi tidak di sini. Aku akan pulang sekarang.”

***

“Li… aku menderita bronchitis akut. Dokter memvonisku akan sulit untuk mempunyai keturunan. Karena nafasku yang abnormal cenderung menyebabkan aku tidak akan mampu memenuhi kewajibanku sebagai seorang lelaki. Makanya aku takut ketika kemarin kamu bilang sudah mengetahui semuanya…”

Bronkhitis? Bukan AIDS?”

“Hah? Apa maksudmu, Li?” kini giliran mas Indra yang bingung. Aku pun bingung. Apa mungkin Hilma memberikan keterangan yang salah?

“Mas pikir, aku tahu penyakit mas darimana?”

“Hasil rontgenku hilang. Kupikir kamu yang menemukan dan kemudian membacanya…”

“Hasil rontgen? Aku tidak pernah melihatnya. Mungkin terbuang Bi Inah. Lalu…?” aku termangu kebingungan…

“Li? Sebenarnya ada apa? Kenapa?”

Tuhan… aku harus siap. Aku tidak mau terus tenggelam dalam ketidakpastian…