Bagaimana Menentukan Keshahihan Hadits?

Assalamu’alaikum.

Afwan ustadz, ana mau tanya bagaimana menentukan keshahihan perawi mengapa bisa ada perbedaan? Misalnya ada hadits di Shahih Bukhari dianggap tidak shahih pada Shahih Muslim atau tidak shahih setelah di-takhrij oleh Syaikh Nashiruddin Albani.

ana juga mau tanya apa yang dimaksud dengan mudallis? karena ana pernah dengar bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hasan Al- Basri tidak shahih karena beliau mudallis.

Jazakallah khairan katsiran

wassalamu’alaikum

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ukuran umum keshahihan suatu hadits adalah bila perawinya memenuhi dua sifat utama, yaitu ‘adil dan dhabith.

Tapi mengapa kok Imam Bukhari dan Imam Muslim masih juga berbeda pendapat tentang keshahihan suatu hadits, maka penjelasannya demikian.

1. Sebab Pertama

Masalah ‘adil dan dhabith sendiri, meski istilah yang mereka gunakan itu sama, namun breakdown dan detail-detail kriteria yang mereka tetapkan ternyata berbeda. Kriteria ‘adil yang ditetapkan oleh Al-Imam Al-Bukhari misalnya, dari segi detailnya masih menyisakan perbedaan dengan detail kriteria yang ditetapkan oleh Al-Imam Muslim. Begitu juga dengan imam-imam yang lainnya, seperti Ibnu Hibban, Al-Hakim, At-Tirmizy dan lainnya.

Padahal jumlah muhaddits seperti mereka cukup banyak, tidak terbatas hanya pada mereka saja.

Kita menemukan ada muhaddits tertentu yang punya kriteria sangat ketat. Sehingga yang tadinya dia punya 50.000-an hadits, setelah di-naqd (kriitik hadits) dan dilakukan screening ketat, begitu banyak hadits yang berguguran tidak masuk kriteria shahih yang telah ditetapkanny sendiri. Hasilnya tinggal 5.000-an hadits saja, itupun ternyata diulang-ulang di lain bab. Kalau dihitung perbutir haditsnya, tinggal 2.000-an saja.

Tapi ada juga yang agak longgar dan toleran. Sehingga hadits yang oleh muhaddits di atas dianggap tidak memenuhi kriteria shahih, oleh kalangan ini masih bisa masuk ke dalam hadits shahih. Maka jumlah hadits shahih menurut muhaddits ini jauh lebih banyak ketimbang cuma 2000-an saja.

Dan di antara kedua kubu ekstrem itu, masih menyisakan banyak ruang untuk perbedaan standar kriteria.

Itu saja, sudah sangat menggambarkan kepada kita bahwa sangat wajar bila standar keshahihan seorang muhaddits bisa saja berbeda dengan standar keshahiha muhaddits lainnya.

2. Sebab Kedua

Selain berbeda detail standari kriteria ‘adil dan dhabith, juga sangat mungkin terjadi perbedaan dalam penerapannya.

Anggaplah misalnya, dua orang muhaddits punya istilah dan detail kriteria yang sama persis 100%. Tapi ketika muhaddits A menyelidiki seorang perawi dari segala sisinya, bisa saja dia memberi nilai 8 untuknya. Lalu di lain waktu dan lain kesempatan, orang yang dinilai oeh perawi A mendapat nilai 8 itu dinilai lagi oleh muhaddits B. Saat itu, berdasarkan pengamatan dan data yang didapat oleh muhaddits B, ternyata nilai yang didapat untuk perawi itu 9, lebih tinggi sedikit dari nilai versi muhaddits A.

Maka hal seperti ini pun juga merupakan faktor yang bisa membuat penilaian derajat keshahihan suatu hadits menjadi berbeda, sesuai penilaian masing-masing muhaddits.

3. Sebab Ketiga

Sebab lainnya adalah bahwa tidak setiap muhaddits menemukan hadits yang sama jumlahnya. Kalau sudah menemukan, bisa jadi dia belum sempat melakukan penyelidikan sampai batas yang sempurna.

Sehingga kita temukan suatu hadits yang oleh muahhadits lain dianggap shahih, dianggap shahih dalam kitabnya.

Contoh yang paling mudah adalah kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim. Imam Al-Hakim banyak menshahihkan hadits dengan standar detail kriteria yang digunakan oleh Al-Bukhari. Namun hadits yang beliau shahihkan itu, justru tidak terdapat dalam kitab shahih Bukhari.

Padahal dari segi kriteria, keshahihannya sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Al-Bukhari. Hadits yang begini sering kita dengar dengan sebutan, "shahhahahu al-hakim ‘ala syarthil-bukhari."

Hadits ini tidak bisa disebut sebagai shahih oleh Bukhari, tetapi benar bia dikatakan shahih sesuai dengan standar (syarat) yang ditetapkan oleh Bukhari. Namun Imam Bukhari sendiri tidak pernah menshahihkannya.

Makna Mudallas dan Mudallis

Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacatnya. Maksudnya, hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Maka hadits mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

Sedangkan istilah mudallis adalah untuk orang yang melakukan trik ini.

Ada tiga macam jenis hadits mudallas, yaitu mudallas isnad, mudallas syuyukh dan mudallas taswiyah.

a. Mudallas Isnad

Misalnya seorang muhaddits menyembunyikan nama gurunya yang merupakan satu di antara perawi dalam rangkaian sanad, lalu langsung menyebutkan perawi yang lebih atas dari gurunya. Namun adanya lompatan jalur periwatan ini disembunyikan sedemikian rupa, bahkan dengan tetap memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung.

Misalnya, suatu hadit diriwayatkan oleh A dari B dari C dan dari D. A tahu bahwa gurunya, B adalah perawi yang lemah. Bila dicantumkan dalam hadits yang diriwayatkannya, pastilah hadits itu tidak akan diterima orang lain. Maka A menyembunyikan keberadaan B dan langsung mengatakan bahwa dia mendengar dari C. Padahal A tidak pernah bertemu atau meriwayatkan langsung dari C. Meski A tahu bahwa C itu ‘adil dan dhabith, namun karena A tidak pernah mendengar langsung dari C kecuali lewat B, maka A berbohong dan mengaku mendengar langsung dari C dan menghapus B dari daftar perawinya.

b. Mudallas Syuyukh

Trik lainnya untuk mengelabuhi adalah dengan tidak menghilangkan nama gurunya, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal oleh umumya kalangan ahli hadits.

Misalnya, A tetap mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits dari B dan dari C dan dari D. Karena A tahu bahwa B itu perawi yang lemah dan kalau disebutkan secara jelas identitas B akan membuat hadits itu jadi lemah, maka A tidak secara tegas menyebutkan identitas B dengan nama yang sudah dikenal kalangan ahli hadits. Misalnya A menyebut nama julukan lain yang sebenarnya mengacu kepada B, tapi orang lain tidak tahu bahwa yang dimaksud oleh A dengan julukan itu sebenarnya adalah B.

c. Mudallas Taswiyah

Trik ini adalah menggugurkan seorang perawi dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah.

Al-Hasan Al-Bashri Mudallas?

Sedangkan masalah Al-Hasan Al-Bashri yang dianggap mudallas oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, memang telah terjadi polemik besar di kalangan ulama hadits. Namun mudallasnya Al-Hasan Al-Bashri tidak bisa disamakan dengan mudallas umumnya. Sebab beliau termasuk min kibarit-tabi’in, yaitu tabi’in yang senior. Sebagian orang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan Umar bin Al-Khattab dan mendengar khutbahnya.

Adapun ‘an’anah yang disebutkan oleh beliau, memang benar. Maksudnya, Al-Hasan Al-Basri memang melakukan tadlis bila dilihat secara zahir definisi tadlis, tapi sebenarnya bukan termasuk tadlis yang parah atau fatal. Boleh dibilang tadlis khofiy. Hal itu karena beberapa alasan:

  • Al-Hasan Al-Basri boleh jadi tidak bertemu langsung dengan Abi Bakrah yang shahabi itu. Dan memang beliau tidak menyebut riwayatnya dengan sami’tu atau haddatsana. Namun beliau mendapatkan ijazah dari shahabat nabi itu berupa hadits dalam bentuk tulisan. Sehingga masih termasuk tahammul hadits menurut para ahli hadits.
  • Yang beliau tadlis adalah perawi yang hidup sezaman dengan shahabat nabi. Mereka hidup sezaman dan sangat mungkin bertemu langsung.
  • Kalau seandainya apa yang dilakukan oleh Al-Hasan itu adalah penipuan, seharusnya Al-Bukhari tidak memasukkannya ke dalam kita shahihnya. Tapi kita tahu bahwa di dalam shahih Bukhari ada beberapa hadits yang mu’an’an, tapi tetap dianggap shahih dan sanadnya bersambung.
  • Di dalam lain riwayat, Al-Hasan juga pernah menyebut dengan sami’tu atau haddatsana dari Abi Bakrah. Dan sekali saja beliau menyebutnya, maka meski pada hadits lain tidak menyebutkan lafadz itu dan hanya mu’an’an saja, tetapi secara sanad tetap masih dianggap sanadnya bersambung.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.