Makna Hadits “Belum beriman seseorang sehingga aku lebih dicintai…”

Assalamu’alaikum Pak ustadz,

Untuk kesekian kalinya saya bertanya, mudah-mudahan pak ustadz bersedia untuk menjawabnya kali ini.

Apakah makna dari hadits, "Belum beriman seseorang sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, keluarganya, anak-anaknya….dst."?

Apakah makna "lebih dicintainya" dalam hadits ini?

Atas jawaban ustadz, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Maksudnya adalah kita diharuskan mencintai Allah dan Rasulullah SAW dengan kadar cinta yang melebihi kadar cinta kita kepada diri kita sendiri. Juga lebih dari kadar cinta kita kepada keluarga kita, anak-anak kita dan seterusnya.

Sebab kedudukan cinta kepada Allah SWT itu harus lebih tinggi dan lebih prioritas dari pada cinta kepada segalanya, termasuk cinta kepada diri sendiri.

Bentuk-bentuk implemetasinya yang terlihat jelas di masa ketika beliau SAW masih hidup adalah tindakan para shahabat. Banyak di antara para shahabat di kala itu harus dihadapkan pada dua pilihan, antara mencintai Allah dan rasul-Nya atau mencintai ayah dan ibunya. Misalnya, Mush’ab bin Umair radhiyallahu anhu. Beliau sangat mencintai kedua orang tuanya, demikian juga keduanya sangat mencinta dirinya.

Namun ketika harus memilih antara cinta pada orang tua dan cinta pada Rasulullah SAW, beliau pun lebih memilih cinta kepada Rasulullah SAW. Soalnya, kedua orang tuanya benci dan memusuhi Rasulullah SAW, serta mengultimatum dirinya untuk memilih satu di antara dua pilihan tanpa ada kemungkinan ketiga untuk memadukan. Maka setelah semua upaya dilakukan, berbagai negosiasi dijalankan, juga bujukan dan ajakan untuk melihat secara lebih luas disampaikan, jalan terakhir adalah pilihan beliauuntuk lebih mencintai Allah dan Rasulullah SAW. Beliau pun diusir dan ‘dipecat’ jadi anak oleh kedua orang tuanya. apa boleh buat, karena kedua orang tuanya tidak mau dipadukan cintanya dengan cinta Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka beliau pun membuktikan keimanannya.

Demikian juga yang terjadi pada kasus Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar kaya di Makkah. Ketika ada perintah dari Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk hijrah dari Makkah ke Madinah, di mana beliau nyaris tidak mungkin membawa hartanya, karena sekedar bisa keluar Makkah dengan selamat pun sudah sangat beruntung, maka beliau pun rela lebih mencintai Allah SWT dan rasul-Nya ketimbang mencintai bisnisnya. Meski pun beliau sangat ahli di bidang bisnis serta sangat mencintai pekerjaannya, namun ketika dihadapkan pada satu pilihan, yaitu cinta rasul atau bisnis, beliau pun lebih memilih cinta Rasul.

Maka berangkatlah Abdurrahman bin Auf berhijrah hanya dengan berbekal selembar iman di dada. Semua asset bisnisnya ditinggalnya di Makkah.

Kedua contoh di atas adalah kasus di mana seseorang hanya diberikan satu pilihan, yaitu antara lebih memilih Allah dan Rasululllah dengan memilih apa pun yang selain keduanya.

Namun seandainya pilihan-pilihan itu bisa dipadukan, tanpa harus membelah kecintaan kepada semua yang layak dicintai, tentu lebih utama. Maksudnya, seandainya kita bisa tetap cinta pada Allah SWT dan sekaligus juga cinta kepada kedua orang tua, tentu akan sangat berbahagia. Juga dengan tetap bisa cinta kepada anak, isteri, harta dan lainnya, semuanya sesuai dengan kehendak dan perintah Allah SWT juga, maka di situlah titik kebahagiaan.

Seringkali kebahagiaan seperti ini kurang kita sadari, padahal semua itu adalah anugerah yang tiada tandingannya. Bukankah umumnya kita punya keluarga, anak, isteri yang sama-sama cinta juga kepada Allah?

Bayangkan dengan nasib yang menimpa sebagian teman-teman kita, ada yang ayahnya mengingkar agama Allah, ada yang ibunya jadi musuh Allah secara terbuka, bahkan ada yang isterinya jadi ateis, kafir, murtad dan sebagainya.

Tentunya, tidak mungkin kita mencintai keluarga yang membenci Allah dan Allah pun membenci mereka. Maka syukurilah nikmat yang sering kita lupakan ini, yaitu kita mencintai orang-orang yang juga juga cinta kepada Allah.

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya…(QS. Al-Maidah: 54)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.