Untold History of Pangeran Diponegoro 33

Untold History of Pangeran Diponegoro 33

Bab 30

DANUREDJO SEPANJANG MALAM TIDAK BERADA di ruangan kerjanya di kraton. Secara khusus Residen Smissaert menyuruhnya untuk membuat selebaran dan memperbanyaknya.

“Patih, kowe cepat bikin pamflet. Umumkan jika Diponegoro itu penjahat yang berbahaya. Siapa pun yang mengikutinya maka mereka akan kita anggap juga sebagai pemberontak dan akan kita hukum seberat-beratnya. Besok pagi pamflet-pamflet itu harus sudah tertempel di banyak tempat strategis di seluruh karesidenan ini!” ujar Smissaert.

Patih Danuredjo tidak bisa membantah. Sebab itu, ketika Letnan Satu Thierry dan Chevallier berangkat memimpin pasukan yang cukup besar ke Tegalredjo, Patih Danuredjo malah sibuk menulis dan menyusun kata demi kata untuk selebarannya di ruangan percetakan di dalam kraton.

Menulis kata demi kata untuk memfitnah seseorang adalah salah satu keahlian Patih Danuredjo yang jarang dimiliki orang lain. Danuredjo tahu jika sebuah peperangan bukan hanya mengandalkan pertempuran dengan senjata yang mematikan di lapangan, tetapi juga mengandalkan banyak pertempuran di palagan lain yang tidak menggunakan senjata api atau senjata tajam. Salah satunya adalah pertempuran di lapangan media atau propaganda.

Pertempuran di bidang propaganda bertujuan untuk memenangkan opini masyarakat, meraih dukungan dan simpati yang luas, sekaligus menghancurkan karakter musuh sehancur-hancurnya, sehingga musuh tidak mendapatkan dukungan rakyat, dan akan jauh lebih baik jika musuh bisa dijadikan common-enemy atau musuh bersama yang harus diperangi. Dengan propaganda yang hebat, orang baik bisa dijadikan orang jahat, juga sebaliknya.

Patih Danuredjo sungguh-sungguh paham akan hal ini. Patih Danuredjo, yang diam-diam mengidolakan Machiavelli dengan Il Principe-nya[1], telah belajar banyak dari filsuf Italia kelahiran abad ke-15 Masehi ini tentang bagaimana cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan segala tatktik dan strategi. Tujuan menghalalkan kekuasaan, itulah Machiavelisme.

Untuk membuat sebuah selebaran, bukan perkara yang sulit bagi Danuredjo. Sebuah pamflet yang efektif dan tepat sasaran, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami semua orang, ringkas, to the point, menggunakan tulisan yang jelas dan mudah terbaca, kertas dan tinta dengan warna yang mencolok sehingga menjadi pusat perhatian orang banyak, dan sebagainya.

Kepada juru tulis kraton, Patih Danuredjo memerintahkan untuk menulis kata demi kata sesuai dengan perintahnya, “Coba kau tulis semua yang akan kukatakan ini.”

“Inggih, Kanjeng Patih…”

“Pengumuman…,” ujar Danuredjo memulai kalimatnya. Juru tulis kraton itu mulai menuliskan satu persatu kata yang keluar dari bibir Danuredjo. Tak sampai limabelas menit, konsep pamflet selesai. Danuredjo membacanya kembali untuk memeriksa segala sesuatunya. Kepalanya kemudian mengangguk-angguk.

“Bagus, wis bagus. Ya ini saja kamu cetak dan perbanyak. Malam ini juga kamu sebar. Tempelkan di tempat-tempat strategis di seluruh wilayah Yogyakarta. Besok aku ingin lihat, di semua tempat yang strategis, di persimpangan jalan, depan semua toko, depan stasiun, pos penjagaan, jembatan, tiang-tiang dan pohon, di depan masjid dan gereja, di semua tempat, pamflet ini sudah harus tertempel…”

“Inggih, Kanjeng Patih Dalem…”

“Dan satu lagi… Siapa pun yang terlihat merusak atau mencabut pamflet ini, tangkap saja. Mereka pastilah bagian dari pemberontak itu…”

Setelah memberikan perintah itu, Patih Danuredjo segera keluar dari ruang percetakan dengan membawa satu salinan konsep pamflet tersebut yang akan diperlihatkannya kepada Smissaert. Dia bergegas menuju ruang kepatihan di mana Residen Smissaert masih ada di sana.

Patih Danuredjo benar-benar menyukai tugas yang satu ini. Menghancurkan karakter orang lain lewat sebuah pamfler atau selebaran efeknya bisa jauh lebih parah ketimbang daya hancur sebuah peluru meriam. Dan hal ini sah-sah saja di dalam perang, bahkan bisa dipergunakan di masa-masa damai pula untuk menghancurkan karakter orang yang tidak disukai.

Pihak yang anti pemerintah juga suka menggunakan selebaran untuk menyerang kekuasaan. Danuredjo ingat, salah satu kasus mengenai selebaran yang pernah sangat dikenalnya adalah yang terjadi di masa kekuasaan Pakubuwono III[2]. Hanya saja, selebaran di masa itu malah dibuat oleh seorang yang berseberangan dengan pemerintah.

Alkisah, sebuah pamflet gelap ditemukan menempel di tempat penyimpanan gamelan kramat milik keraton. Isinya, ringkas dan padat:

“Haruskah orang-orang Eropa itu dianggap lebih kuat daripada Allah?”

Ketika selebaran itu sampai ke telinga Pakubuwono III, raja yang sangat setia terhadap penguasa kolonial Belanda tersebut langsung marah. Dia segera memerintahkan supaya dicari orang yang dianggap bertanggungjawab atas selebaran tersebut. Tidak ada petunjuk apa pun selain sebuah coretan kecil di bagian bawah selebaran bertuliskan: Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.

Setelah mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Belanda, Pakubuwono III kemudian memerintahkan agar Kiai Alim Demak, seorang ulama yang hanif dan berada di luar struktur kekuasaan, ditangkap dan dipenjarakan. Kiai yang buta huruf latin itu langsung dianggap bersalah. Hukuman berat menantinya.

Tanpa pengadilan, orangtua itu dijatuhi hukuman mati dengan cara yang sangat mengerikan. Di hadapan rakyat biasa yang diperintahkan untuk menonton, di tengah alun-alun, Kiai Alim Demak digantung terbalik di sebuah tiang dengan kaki di atas. Dengan perlahan kulit kepalanya dikelupas selapis demi selapis. Lalu tepat di bawah wajahnya, pamflet yang menjadi sebab-musabab itu dibakar.

Malam sudah semakin larut. Namun di dalam kraton sejumlah senopati, pasukan telik sandi, beberapa prajurit kepala, dan kurir tampak masih hilir-mudik dengan wajah tegang. Perkembangan di Tegalredjo sangatlah mencemaskan. Dari sejumlah laporan, gabungan pasukan Belanda dan Legiun yang dipimpin Letnan Satu Thierry dan Chevallier yang sore tadi merebut Tegalredjo, malam ini malah terkepung oleh laskar pendukung Pangeran Diponegoro. Walau laskar-laskar tersebut hanya bersenjatakan alat-alat sederhana, seperti keris, pedang, tombak atau bambu runcing, dan lainnya, namun semangat yang mereka miliki sungguh mengerikan. Jika pasukan Belanda dan Legiun berperang untuk menyelamatkan diri, maka para pendukung Pangeran Diponegoro itu pergi berperang untuk mencari mati.

Patih Danuredjo tahu betul jika seruan jihad Diponegoro-lah yang menyebabkan itu semua. Sebab itulah di dalam selebarannya, Danuredjo berusaha keras jika yang digelorakan Diponegoro bukanlah jihad, namun teror dan ajakan setan.

Sambil terus bergegas menuju ruangannya, Patih Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu bergumam, “Orang-orang harus percaya kalau dia itu mengangkat senjata hanya karena sakit hati tidak terpilih menjadi Sultan. Islam hanya dijadikan kambing hitam untuk mengobati kekecewaan hatinya. [] (Bersambung)

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli

[2] Sri Susuhunan Pakubuwana III lahir di Kartasura tahun 1732 dan wafat tahun 1788 adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Dia merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.