Air Mata Jelang Hari Raya

Kata pembuka ini seolah seperti anak kunci untuk mengutarakan kalimatku selanjutnya. Mengalirlah deras pengalaman air mata yang barusan kujumpai. Syukur yang kesekian kali, perasaan kami berbanding lurus, segaris dan bertemu dalam satu titik paradigma berbagi. Maka dengan perasaan yang hanya dimengerti oleh kami masing-masing, wanita ibu anak-anakku itu memisahkan satu stel baju koko, dua potong T-shirt dan enam potong pakaian dalam yang beberapa hari lalu dibelinya.

”Semoga ada hamba Allah yang berkenan menggenapkan kesanggupan kita ini. Atau orang tuanya dilimpahkan rezeki”.

”Aamiin”.

Aku kembali melanjutkan bacaan yang belum rampung dengan perasaanku sendiri, sedangkan ia kembali ke dapur mempersiapkan lauk berbuka nanti sore dengan perasaannya sendiri pula. Sementara kami tidak sanggup meraba isi hati kami masing-masing.

Titik bening dan hangat tak kubiarkan jatuh dari kedua kelopak mataku sebab segera kusambar dengan ujung lengan kemeja yang kukenakan. Betapa aku terinspirasi dengan kisah yang dibawakan seorang penceramah beberapa malam lalu lepas tarawih. Kisah baginda Nabi dengan seorang putri yatim di hari Raya.

Kisah ini terjadi di Madinah di pagi Idul Fitri. Rasulullah melihat di sebuah sudut ada seorang gadis kecil sedang duduk bersedih yang mengenakan pakaian tambal-tambal dan sepatu yang telah usang.

Kanjeng Nabi menghampiri gadis kecil itu.  Gadis kecil malu, lalu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu. Dibelainya kepala gadis itu  dengan kasih sambil berujar :

 “Anakku, mengapa menangis? Ini hari raya bukan?” Gadis kecil itu terkejut dan hanya diam. Dengan tetap tertunduk tanpa melihat siapa yang bertanya, itu bercerita :

“Di hari raya yang suci ini, semua anak berharap dapat merayakannya bersama orang-orang tercinta dengan penuh kebahagiaan. Bermain sesama mereka dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Saat hari raya terakhir bersamanya, Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Betapa bahagianya aku saat itu. Hingga suatu hari, ayahku pergi berperang bersama Rasulullah SAW. dan mendapatkan syahidnya. Sekarang ayahku telah tiada bersamaku. Aku telah menjadi gadis yatim. Siapa lagi yang menangis untuknya selain aku?”

Kanjeng Nabi terharu seraya membelai kepala gadis kecil itu sambil berkata: “ Hapuslah air matamu anakku. Angkatlah wajahmu dan dengarkan apa yang akan kukatakan. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuan dan Aisyah menjadi ibumu? Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”

Seketika gadis kecil itu berhenti menangis begitu mendengar empati sosok agung di depannya. Dipandangnya dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Hatinya melonjak, benar, ia adalah Rasulullah SAW.. Ia tidak menyangka orang yang menemui dan mendengar keluh kesah kesedihan dan gundah hatinya adalah nmanusia paripurna. Ia begitu amat tertarik atas tawaran Rasulullah SAW.. Tapi, ia tidak bisa berkata sepatah katapun. Ia hanya dapat menatap wajah mulia Rasulullah SAW. dan mengangguk perlahan tanda persetujuannya. Gadis yatim kecil itu lalu bergandengan tangan dengan Rasulullah SAW. menuju ke rumah. Hatinya sumringah. Sulit dilukiskan betapa cair dan berbunga hatinya menggenggam tangan Rasulullah SAW. yang lembut bagai sutra itu.

Sesampainya di rumah, gadis kecil yatim itu dimandikan, disisir rambutnya, dipakaikannya gaun yang indah, diberikannya makanan dan diperlakukan layaknya putri sendiri. Lalu ia diantar keluar setelah dibekali uang sekedarnya agar dapat bermain bersama anak-anak lainnya. Anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri itu. Mereka merasa keheranan, lalu bertanya :

“Hai gadis kecil, apa gerangan yang telah terjadi atasmu? Mengapa kamu terlihat sangat gembira?”

Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya gadis kecil itu menjawab :

“Akhirnya aku memiliki seorang ayah! Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya! Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu, namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”

Subhanallah.

Ya Rabb, di penghujung Ramadhan ini hamba mohon ampun sekiranya belum serius hamba bertaqarrub kepada-Mu. Izinkan hamba bertemu Kanjeng Nabi junjungan hamba, walaupun sekelebat lewat mimpi dalam tidurku.

Depok, di penghujung Ramadhan .

Abdul.