Air Mata Jelang Hari Raya

Bayangkan, siapa yang rela berpisah di saat ”bermesraan” dengan kekasihnya? Siapa yang tidak bersedih bila diputus segala kenikmatan dari hidupnya? Sementara tidak ada jaminan yang memastikan ia dapat menjumpai kemesraan dan kenikmatan itu di masa yang akan datang.

Ramadhan adalah salah satu puncak kemesraan dalam munajat dengan Allah Yang Maha ”Cantik”. Satu bulan fasilitas nikmat Allah bagi yang ingin mereguk kenikmatan beribadah siang dan malamnya. Maka wajarlah apabila ada manusia-manusia se”kelas” sahabat dan tabi’in menjadi orang yang paling gembira saat Ramadhan tiba dan menjadi yang paling berduka saat ia pergi meninggalkannya. Mereka gembira dan larut dalam lautan zikir dan taqarrub seakan ingin agar sepanjang tahun adalah Ramadhan. Lalu begitu takut dan gelisah jika umurnya tidak mencukupi untuk sampai berjumpa pada Ramadhan berikutnya. Maka, air matapun berbicara.

***

Ada air mata yang mengalir dari kelopak mata mereka berdua. Bibir-bibir bergetar menahan isak agar tertahan di tenggorokan saja. Semakin kupandang mereka, semakin banyak air yang keluar. Berulangkali tepian baju digunakannya untuk menahan jatuhnya ke tanah. Tapi kesedihan yang tengah dirasakan, seolah tidak memberi kesempatan air mata itu berhenti berurai. Muka keduanya sembab.

Dengan terbata-bata seorang dari kedua perempuan itu bercerita. Cerita yang terpotong-potong karena bersahut-sahutan dengan isak yang mulai hilang perlahan. Sampai  akhirnya menjadi jelas apa yang tengah mereka tangisi.

”Masa sih, dari Jakarta Timur ke Depok saja tidak punya cukup uang untuk berlebaran dengan keluarga di sini. Apa mungkin?”.

Sepenggal kalimat ini memancing kembali buraian air mata kesedihan. Semakin larut dan dalam. Rupanya, bukan sekedar persoalan tidak bisa berkumpul pada saat lebaran yang menjadi pangkal tangisan ditumpahkan. Tetapi ketiadaan cukup uang untuk sekedar mengganti sepotong pakaian baru untuk kedua anak orang yang ditangisi itu.

”Biarlah orang tua tidak memakai baju baru. Tapi jangan sampai anak-anak kehilangan kegembiraan lebaran hanya karena tidak punya baju baru. Apalagi di usia baru kelas tiga SD sudah kuat berpuasa penuh sampai Maghrib. Ya Allah, apakah sudah sesempit itu cobaan rizki anak dan cucu saya?”.

”Jemput saja mereka biar sama-sama merasakan kegembiraan bersama keluarga di sini. Soal ongkos jangan terlalu dirisaukan”, aku berusaha membesarkan hati mereka.

Hampir-hampir aku larut terlalu jauh dengan kesedihan kedua perempuan itu. Kesedihan karena kemungkinan tidak bisa berkumpul saat lebaran dan mengingat bocah kecil cucu dan keponakan mereka yang belum punya baju baru untuk berlebaran. Sejenak aku ingat anak-anakku di rumah. Ingat betapa gembiranya mereka saat dibelikan baju untuk lebaran. Batinku mengiyakan, kegembiraan mereka adalah kebahagiaan orang tua. Bahagia bukan semata-mata mampu membuka senyum dan tawa mereka dengan baju baru. Tetapi kebahagiaan ruhani atas keberhasilan mereka belajar berpuasa sebulan penuh di usia yang masih terbilang sangat kecil. Sehingga harapan terbentang luas bahwa mereka akan disiplin terbiasa berpuasa saat dewasa kelak.

Semua anak-anak sama dalam sedih dan gembira, siapapun. Kesedihan dan kegembiraan yang alami dan mampu membuat orang tua merasa nelangsa karena kesedihannya dan merasa ridha melihat kegembiraan mereka. Tetapi nasiblah yang memisahkan mereka dalam sedih dan gembira.

Orang-orang kampung memang memiliki respon yang khas saat Ramadhan dan saat lebaran tiba. Rata-rata mereka taat menjalankan puasa, baik orang tua maupun anak-anak di bawah umur baligh. Sehingga, nuansa Ramadhan sangat kental terasa sejak awal hingga akhirnya. Sangat jarang orang kampung yang tidak berpuasa bebas berkeliaran mengumbar makan atau minum. Mereka lebih memilih ”ngumpet’ untuk memenuhi kebutuhan perutnya karena malu tidak berpuasa. Tidak seperti di kota-kota besar seperti Jakarta, di mana Ramadhan dihargai di hari-hari pertama, kedua atau paling bertahan selama satu minggu. Selebihnya sama seperti bulan-bulan biasa. Orang begitu bebasnya makan, minum atau merokok di siang hari di tempat terbuka tanpa merasa risih. Bisa jadi karena komposisi masyarakat yang heterogen dengan adat, budaya dan keyakinan yang tidak seragam. Tetapi, tidak sedikit pula orang kota yang ketaatannya pada puasa melebihi ketatan berpuasanya orang kampung. Bahkan boleh jadi nilai puasanya lebih hebat sebab godaannya jauh lebih berat dan kompleks dari pada berpuasa di kampung. Allahu a’lam.

Begitulah, saat lebaran pun orang kampung memang khas. Dari mulai makanan tradisi yang di anggap ”wajib” hadir di meja jamuan sampai berganti pakaian baru yang rata-rata hanya setahun sekali mereka lakukan. Jadi dapatlah dirasakan pilunya, apabila tradisi setahun sekali itu luput dari jangkauan kantong mereka untuk membahagiakan anak-anak sebagai apresiasi nilai puasa mereka. Bagi mereka, ungkapan ”Laisal ieed man libaasuhu jadiid, walaakinnal ieed liman thoo’atuhuu yaziid”. Bahwa bukanlah ied (kembali) kepada kemenangan itu ditandai dengan baju baru, tetapi ditandai dengan ketaatan yang bertambah, hanya berlaku bagi orang dewasa. Sementara bagi anak-anak, ada dan tidaknya baju baru adalah soal sedih dan gembira, yang nyatanya dapat memancing air mata orang dewasa.

Pulang ke rumah sewa membawa syukur yang bercampur prihatin. Gembira yang ternyata tidak seluruhnya lepas sebab tidak sampai hati melihat kegembiraan orang lain terenggut di depan mata.

”Bunda, masih adakah kesanggupan untuk kita berbagi?”.