Awalan Yang Buruk

Pada sebuah taksi pukul 5 lewat 10 menit. Shubuh baru saja usai.

“Juanda, Pak,” kataku pada sopir taksi itu sementara kulihat butir-butir embun menempel seperti kristal bersinar pada kaca jendela. Taksi Zebra itu pun segera beranjak pergi. Apalagi aku bilang kalau pesawatku jam 6.20 pagi. Ada tersisa 30 menit untuk membelah Surabaya pagi hari menuju international airport itu.

“Kok nggak diantar saja, Pak?” tanya sopir itu memulai percakapan. Ada tiga buah mobil diparkir di kantorku.

“Drivernya masih di rumah, Pak,” jawabku singkat.

“Mobilnya banyak juga, ya?” tanyanya berlanjut. Taksi telah bergerak dari perumahan menuju jalan besar.

“Yah, mobil kantor,” jawabku menebak-nebak arah pembicaraannya.

“Ada berapa mobil, Pak?”

“Ada sekitar 7 atau 8.”

“Banyak juga, ya? Drivernya berapa orang?”

“Tiga orang.”

“Wah, berarti kurang dong, Pak.”

“Nggak juga.”

“Saya mau jadi driver kantor Bapak.”

“Rata-rata disetir sendiri, Pak,” jawabku, berharap ia tak meneruskan pertanyaannya. “Driver yang ada hanya untuk jam kerja kalau ada yang perlu diantar ke bank, ngurus ini-itu, mengantar tamu.”

Sopir itu kemudian memang tak melanjutkan pertanyaannya tentang driver dan mobil di kantor. Sebagai gantinya, ia kini bercerita tentang taksinya. Lebih tepatnya, mengeluhkan keadaannya kini.

“Saya barusan tekor 27 ribu untuk mengganti bensin, Pak,” katanya. Ia kemudian menyesalkan pihak manajemen di mana ia bekerja yang telah mengganti Bahan Bakar Gas (BBG) taksi yang dipegangnya menjadi bensin seperti semula. “Jadinya boros banget. Saya bolak-balik rugi dan nombok.”

“Kok nggak dilaporkan sama manajemen Bapak?”

“Mereka nggak mau tahu, Pak. Pokoknya setoran terpenuhi.”

Sesaat senyap. Kami melampaui jalan Prapen yang sudah mulai ramai. Matahari masih tertutup mendung tebal pertengahan April.

“Mana sekarang penumpang sepi. Tidak seperti dulu, gampang dapat order dan memenuhi setoran.”

Aku tak menyahut.

“Kalau di tempat Bapak ada lowongan driver,” katanya, menemukan celah untuk kembali ke topik semula seperti anak kecil menemukan mainannya yang sesaat lalu hilang, “saya mau Pak. Di taksi ini itung-itung sebagai loncatan saja.”

“Berapa nomor telpon bapak?” rasanya aku ingin mengakhiri saja basa-basi ini.

Ia kemudian dengan cepat menyebut deretan angka dan menyebut nama. 03170141xxx. Nama, sebut saja, S. Aku menyimpannya dalam phonebook handphone-ku. Tak lupa ia mengucap terima kasih.

“Nanti saya hubungi jika memang ada lowongan,” kataku setengah berharap ini semua selesai.

Tetapi, aku baru ingat sesuatu yang sebetulnya biasa dilakukan sopir taksi begitu penumpang naik ke jok selain menanyakan tujuannya ke mana.

“Argonya nggak dipasang, Pak?” tanyaku setelah memeriksa sana-sini. Bawah spion-dalam-tengah, bawah radio-tape, bawah tempat abu rokok, samping kanan sopir. Tak ada argometer menyala dalam gelap pukul 5 pagi.

“O, ya. Lupa, Pak!” serunya tanpa penyesalan. “Sudah begini saja, Pak. Biasanya sajalah, berapa. Saya manut. Itung-itung untuk menutup kerugian yang kemarin.”

***

Tak tahu apa ini ada hubungannya, tetapi saya jadi teringat dengan banyak anjuran Rasulullah SAW dalam berbagai hadits. Beliau menganjurkan kita untuk membaca Basmalah ketika mengawali sesuatu. Beliau mengajari kita untuk mengumandangkan adzan dan iqomat di telinga kanan dan kiri bayi kita yang baru lahir. Rasulullah SAW juga menyuruh berebut mengucap salam pada orang yang kita jumpa. Benang merah di kepala saya, kita dianjurkan untuk mengawali sesuatu dengan baik. Entah dengan perkataan atau perbuatan.

***

Jam sudah mepet. Tak ada gunanya berdebat agar dia menyalakan argo di setengah perjalanan. “Biasanya 60 ribu,” kataku menyebut angka. Aku sudah menghitung di atas rata-rata, termasuk biaya parkir masuk bandara.

“Terserah Bapak,” katanya enteng, kedengarannya kalimat itu seperti sudah pernah diucapkannya ribuan kali. Tentu saja ia berkata begitu karena sudah lebih dari cukup. Apalagi dengan tidak menyalakan argo, berapapun yang ia terima, tak akan disetor ke perusahaannya. Dipotong dengan bensin yang harus ia keluarkan untuk perjalanan ke bandara, sisanya lebih dari cukup untuk menutup tekornya kemarin – kalau saja ia memang tekor. Ah, sebuah awalan yang buruk jika ia memang berniat melamar kerja sebagai driver di kantor.

Setelah sampai di Bandara, aku segera membayarnya sesuai kesepakatan. Menggendong kedua tas perjalananku. Menenteng tiket di tangan. Bergegas ke pintu masuk. Memasukkan barang-barang ke mesin X-ray. Dan kemudian mengantri di depan check-in counter.

Sambil menunggu giliran, aku ambil handphone. Mencari nama S di phonebook. Menyorotnya dan kemudian menghapusnya dalam sekali tekan tanpa pikir panjang. Dan hari itu aku mencatat sejarah: sebuah nomor sempat tercatat di phonebook-ku dan berumur tak lebih dari 30 menit.

Good bye Pak S!

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com