Malu

            Siang menjelang sore udara masih saja panas menyengat, memicu perasaan malas lebih dominan untuk keluar rumah. Tapi mengingat tugas dari suami untuk membantu membawa mobil tetangga kami ke tempat cucian mobil, membuatku merasa sangat terpaksa melangkahkan kaki menuruni tangga apartement. Hari itu hari Jum’at dan kemungkinan besar hari Sabtu atau Minggu beliau akan kembali dari Jakarta. Tentu saja tidak elok rasanya mengabaikan permintaannya itu, mengingat beliau sudah memberikan uang untuk bayaran cuci mobil tersebut.

            Dengan langkah lesu kubimbing Widad, putri bungsuku, ke tempat parkiran mobil di lantai dasar dan segera menyetir mobil menuju tempat cuci mobil langganan di Taman Universiti. Terbayang antrian panjang yang harus kulalui setiap membawa mobil ke tempat cuci pada jam bersamaan, yang terkadang menghabiskan waktu sampai satu jam.  Di tengah perjalanan, serasa dibisiki sesuatu aku menggumam, “Ya Allah, ikhlaskan aku.”

Begitu sampai, perasaan pertama yang kurasakan adalah lega. Karena tempat cucian itu sepi, hanya ada satu mobil BMW berwarna putih yang sedang dicuci. Itu berarti aku tidak harus membuang banyak waktu untuk antri.  Mobil kuhentikan persis di belakang BMW putih. Segera kulambaikan tangan ke petugas cuci untuk memberikan kunci mobil.

Mataku tertuju pada beberapa barisan kursi sederhana yang tersedia di sebelah ujung, yang diperuntukkan buat  para penunggu, tak jauh dari tempat mengeringkan mobil. Seorang perempuan melayu bertubuh mungil dan berjilbab lilit ala arab, tampak asyik menekuri sebuah buku bacaan. Di sebelahnya duduk seorang lelaki melayu yang asyik dengan gadgetnya. Kutaksir usia mereka belum mencecah tiga puluh tahun.  Dari sikap mereka aku yakin mereka adalah sepasang suami istri. Dan aku juga yakin mereka adalah pemilik BMW putih itu.

Dengan langkah hati-hati karena lantai yang basah, kutuntun Widad ke kursi tersebut. Dua buah kursi di sebelah perempuan itu kosong, tetapi sebuah tas kulit cantik tergeletak di salah satu kursi yang berada persis di sampingnya. Widad segera duduk di kursi kosong tersebut, sementara aku hanya berdiri sambil menatap perempuan itu yang tetap asyik dengan bukunya. Aku tak menyapanya, tak mau sok akrab. Hanya beberapa detik, sepertinya ia menyadari kehadiran kami.

“Hai…,” ujarnya ramah menyapa Widad dengan bibir yang tersenyum lebar.

Aku ikut tersenyum sambil menatap wajahnya dan kursi di sebelahnya bergantian.

“Eh, sorry Kak,” ucapnya sembari segera mengambil tasnya dan meletakkannya di pangkuan.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapi. Ia menatapku sambil tetap memegang bukunya yang terkembang. Beberapa kali aku melirik ke arah buku tersebut, penasaran dengan judul bukunya.

“Ini anak Akak yang nombo berape?” Senyum tak lepas dari bibirnya.

“Yang bongsu, nombo tige.” Aku pun membalas senyum ramahnya.

“Haaiii… ape name? Eh… malu die,” ia menggoda Widad dengan suaranya yang tak kalah ramahnya.

“Widad, Aunty… Eh Widad, tengok sini. Aunty panggil,” ujarku sambil berusaha memalingkan wajah putriku ke arahnya. Widad tetap melengos dengan wajah yang tampak malu-malu.

Kami pun tertawa serempak. Perasaan kaku yang tadi kurasakan menjadi cair. Perempuan di sampingku ini ternyata luar biasa ramah.

“Kakak duduk kat mane?”

“Kat Taman Desa Skudai, dekat je dari sini.”

“O… Akak memang selalu cuci kete kat sini lah ye?”

“Iye, memang.”

“Kakak suke bace?”

“Suke, suke sangat.”

            “Kejap, Kak. Saye bagi Akak buku.”

Ia segera berdiri dan berjalan ke arah bagasi BMW putih yang sedang di keringkan dengan kain lap. Tak lama ia kembali datang sambil membawa sebuah buku yang persis sama dengan buku yang dibacanya tadi.

“Ini untuk Akak, saye baru je beli kat KL semalam,” ujarnya sambil menyerahkan buku tersebut ke tanganku. Aku masih belum yakin dengan pendengaranku. Tapi buku tersebut tetap kuambil. Buku berwarna putih tersebut tampak sangat baru. Mudahnya Menjemput Rezeki, judul buku itu dan Fathuri Salehuddin nama penulisnya.

“Ini buku best la, Kak. Tentang rezeki. Tengok ni Kak, tajuk yang ni, ‘Milik kita belum tentu rezeki kita’. Cam tu rupenye, Kak. Jadi memang kite kene berbagi dengan orang lain, Insya Allah nanti Allah bagi kita rezeki lebih kan,” jarinya menunjuk sebuah sub pokok bahasan dalam buku tersebut.

Aku masih termangu sambil menimang buku itu dengan perasaan bingung.

“Ini buku orang bagi, ye?” tanyaku.

“Bukan, Kak. Ini saye beli semalam kat KL, saya beli lebih sikit.”

            “Pas tu, buku ni…?”

“Ini saye bagi je untuk Akak, saya nak berbagi rezeki sikit.”

“Subhanallah,” desisku.

“Eh Kak, saye pegi dulu, ye,” ucapnya buru-buru saat mendengar suaminya memanggil. BMW putih mereka sudah bersih dan mengilat.

“Terime kasih ye, name adik sape?” tanyaku sambil menyalami tangannya.

“Saye Mona, Kak,” ujarnya tanpa menghilangkan senyum ramahnya.

Ia segera menaiki BMW putih itu di samping suaminya yang segera melaju ke arah kiri jalan. Aku mendekap buku itu erat. Ada perasaan terharu terselip. Buku adalah salah satu bentuk hadiah yang sangat kusukai. Aku teringat akan ketidak-ikhlasanku sesaat sebelum berangkat tadi, sungguh aku malu padaNya. Hanya dalam hitungan menit, Allah telah mengganti jerih payahku yang tak seberapa.

Ya Allah, ajari aku untuk selalu ikhlas dalam setiap amalku.

Yessi Anggraini

Johor, penghujung 2012

www.yessianggraini.blogdetik.com