Memanusiakan Manusia, Sudahkah Kita?

“Kemarin saya kaget dengan ucapan terima kasih dari sopir minibus yang kita sewa sewaktu makan malam di restaurant malam Kamis lalu. Dia bilang begini: Ibu, baru kali ini, kita diajak makan malam bersama oleh orang-orang yang menyewa minibus kita. Kita merasa diperlakukan sebagai seorang manusia. Terima kasih, Ibu.” Begitulah kira-kira cerita dari seorang atasan saya mengenai acara makan malam bersama antara delegasi Indonesia, Jepang dan Cina. Acara makan malam bersama itu merupakan acara penutupan dari rangkaian acara seminar internasional tentang sanitasi yang diselenggarakan di Bandung.

Mendengar cerita beliau, saya terkenang kembali dengan acara makan malam tersebut. Memang, beliau meminta semua sopir minibus yang kami sewa untuk mengantar kami ke tempat berlangsungnya acara makan malam itu, turut serta makan malam bersama dengan peserta dari Indonesia, Cina dan Jepang. Acara makan malam tersebut dilaksanakan sebuah restaurant yang terletak di daerah Dago Atas, Bandung. Sebuah restaurant dengan menu makanan yang berskala internasional. Kita tidak hanya disuguhi makanan utama, tetapi ada juga makanan pembuka dan makanan penutup. Selain itu, semua pengunjung restaurant itujuga disuguhi dengan live music yang menyenandungkan lagu-lagu anak-anak negeri.. Satu hal yang saya rasakan saat itu, ada suasana keakraban di antara kami. Tidak mengenal status seseorang.

***

Kita memang terkadang lupa untuk memanusiakan seorang manusia. Cleaning service kantor, pembantu rumah tangga, sopir, tukang sapu jalan, pengamen jalan, anak-anak jalanan adalah orang-orang yang sering kali kita lupakan untuk diperlakukan selayaknya seorang manusia. Terkadang, kita merasa berhak untuk memperlakukan saudara-saudara kita itu sedikit lebih rendah. Atau, bahkan, kadang-kadang kita memperlakukan mereka hampir mendekati perlakuan kita kepada hewan kesayangan kita. Begitu melekatnyakah sikap feodalisme itu pada diri kita? Tengoklah, wajah sinetron-sinetron kita, yang hampir setiap malam menemani istirahat malam kita. Tengoklah, bagaimana perlakuan seorang majikan kepada seorang pembantu atau seorang sopir di dalam sinetron-sinetron itu? Apakah gambaran yang terdapat di dalam sinetron itu adalah gambaran umum masyarakat Indonesia? Entahlah saya tidak mengetahui jawabannya dengan pasti. Wallahu’alam.

***

Ketika kita selesai menggunakan WC atau kamar mandi, pernahkah terpikir dalam benak kita untuk meninggalkannya dalam keadaan bersih agar tugas cleaning service kantor untuk membersihkan WC atau kamar mandi itu menjadi lebih ringan? Ketika kita selesai bekerja, pernahkan kita berfikir untuk sekedar merapikan meja kerja atau sekedar membuang kertas yang tidak perlu langsung ke tong sampah agar tugas cleaning service kantor menjadi sedikit lebih ringan? Ketika kita selesai makan, pernahkah kita berfikir untuk sekedar merapikan meja makan agar tugas si mbok menjadi lebih sedikit? Ketika kita pulang dari kantor, pernahkan kita berfikir untuk meletakkan sepatu dan tas kantor kita langsung pada tempatnya sehingga tugas si mbok menjadi tidak begitu banyak? Ketika kita turun dari mobil, pernahkah terlintas di pikiran kita untuk langsung menutup atau membuka pintu mobil agar tugas si sopir yang senantiasa mengantar kita menjadi tidak begitu berat? Ketika kita sedang berada di perjalanan, pernahkah kita berfikir untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat agar tugas seorang tukang sapu jalan menjadi tidak begitu banyak? Ketika bertemu dengan seorang pengamen jalanan, pernahkah kita berfikir untuk sekadar memberikan seratus atau dua ratus perak rejeki kita sebagai imbalan bagi mereka yang telah berusaha menghibur kita. Ah, seringkali kita lupa untuk melakukan hal itu. Saya pun terkadang demikian.

***

Status sosial. Benarkah karena hal itu kita bisa memperlakukan seseorang dengan cara yang berbeda? Pernahkah kita mencoba berpikir dalam sudut pandang mereka, orang-orang yang kita anggap mempunyai status sosial yang rendah? Pernahkah kita berpikir bahwa mereka tidak minta dilahirkan dan ditakdirkan dengan status sosial yang rendah? Pernahkan kita berfikir bahwa mereka hanya ingin menjalani kehidupan mereka sekarang dengan berbuat yang terbaik bagi diri mereka?Sebagai apapun mereka. Sebagai seorang cleaning service. Sebagai seorang pembantu rumah tangga. Sebagai seorang sopir. Sebagai seorang tukang sapu jalan. Sebagai seorang pengamen jalanan. Sebagai seorang anak jalanan.

***

Tidak hanya, Anda, temanku, yang harus belajar untuk memanusiakan seseorang. Saya pun demikian. Satu hal yang mungkin seringkali kita lupakan: bukankah bagi Allah Subhanallaha Wa Ta’ala, hanya takwa yang menjadi pembeda?

Bandung, September 2006