Optimisme Kang Kandar

eramuslim.com

         Tidak ada seorang pun yang murah senyum dan begitu optimistis dalam menghadapi hidup selain Kang Kandar. Matanya buta sejak lahir, tetapi seraut wajahnya selalu menebarkan senyum yang memesona bagi warga kampung Jombang. Baginya, hidup ini perlu dijalani apa adanya. Bagaikan air yang jernih mengalir dari hilir-hilir ke hulu sungai, hingga mencapai muaranya di tengah samudera luas.

Efek Covid-19, Jasa Pijat Tunanetra di Yogyakarta Sepi Pasien | TIMES Indonesia

         Terkadang banyak orang sangsi pada kehidupan yang dijalaninya, terutama di zaman pandemi Covid 19 yang sudah berjalan selama satu tahun, serta menggoncangkan sendi-sendi persaudaraan, solidaritas, ekonomi hingga keimanan umat manusia di muka bumi ini.

         “Hatinya melihat tapi matanya buta. Coba kalau matanya melihat, dia akan menyaksikan dengan jelas bagaimana air di seluruh dunia ini begitu keruh, kotor, dan kumuh berbusa di mana-mana,” cetus seorang seniman senior di desa kami.

         Kang Kandar justru terheran-neran mendengar komentar seniman kawakan itu. Apapun keadaan dan situasi yang menimpa manusia, baginya tetaplah bahwa hidup ini begitu indah, dan harus disyukuri. Justru dia bingung ketika mendengar seorang warga di kampung seberang yang konon mati bunuh diri karena rasa depresi dan ferustasi. “Hidup manusia memang banyak masalah, tapi juga banyak jalan keluar yang ditawarkan Tuhan. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan,” kata Kang Kandar meyakinkan.

         Orang-orang yang berkumpul di gardu ronda, yang matanya melek-melek, kerapkali membicarakan optimisme Kang Kandar di masa Covid 19 ini. Di antara mereka ada yang mencurahkan isi hatinya kepada Kang Kandar, lalu minta solusi bagaimana menghadapi hidup yang stress, pelik dan menggalaukan.

         Jadi, ketika sesorang merasa cemas menghadapi kerasnya hidup karena kekurangan ekonomi, penyakit, atau salah seorang keluarganya meninggal karena Covid 19. Kang Kandar justru menyambangi orang yang terkena musibah itu. Tak peduli lelaki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, lalu mengelus-elus tubuh mereka sampai tertidur pulas.

         Lama kelamaan, kemahiran Kang Kandar dalam soal mengelus-elus tubuh orang, mengantarkannya sebagai tukang pijat di kampung Jombang. Memang belum bisa dikatakan profesional, tapi sebagai tukang pijat tunanetra yang dikenal murah senyum, namanya kian melambung tinggi. Sampai akhirnya ia memutuskan profesi itulah yang layak digelutinya hingga mampu menghidupi istri serta menyekolahkan kedua anaknya.

         Suatu kali ia menyambangi keluarga Taufik yang berurusan dengan pihak Polres lantaran membobol toko sembako. Ia pun menyambangi keluarga Tohir, setelah pemuda itu mengalami baku-hantam dengan warga Batak di Restoran Padang. Kang Kandar kadang berpikir, kalau bukan karena anugerah buta yang diberikan Tuhan, barangkali nasibnya tak begitu jauh dengan kawan-kawan sepantarannya di kampung. Terutama nasib Taufik yang dibesar-besarkan media sebagai “penjahat kambuhan”. Padahal baru kali itu ia membobol toko sembako milik pengusaha Cina.

         Syahdan, Pak Joko selaku Kapolres yang tinggal tak begitu jauh dari kampung kami, tiba-tiba memanggil Kang Kandar karena soal pijat memijat. Tugasnya sebagai kepala kepolisian di kabupaten kami cukup berat, terutama di masa-masa pandemi yang membutuhkan kesigapan mengurus rakyat selama 24 jam.

         Sekali dua kali dipijat Kang Kandar, akhirnya Pak Kapolres berkesimpulan bahwa kemahiran seorang tunanetra dalam soal memijat tubuh, laiknya seorang komponis andal yang memencet tuts-tuts piano hingga memunculkan irama musik nan indah. Baginya, Kang Kandar hafal betul di mana bagian tubuh yang perlu ditekan, dan mana yang cukup disentuh agar muncul harmoni yang mengagumkan.

         Maka, dalam tempo yang tak begitu lama, alangkah wajar jika Kang Kandar menjadi pujaan banyak orang. Hampir setiap hari ia keluar rumah demi pasien-pasiennya. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Nama Kang Kandar makin dikenal luas, setelah banyak pejabat menyenangi pijatannya. Mulanya Pak Kapolres yang rumahnya tak begitu jauh dari kediaman Kang Kandar, lalu ikut-ikutan Pak Lurah, Pak Camat dan beberapa anggota dewan yang tinggal di sekitar desa kami.

         “Kenapa kemarin tidak datang, Dar?” Suatu hari Pak Kapolres protes kepada Kang Kandar, karena ia tak muncul pada saat kepala polisi itu butuh pijatannya.

         “Kurang enak badan, Pak,” jawabnya beralasan.

         “Ah, mosok tukang urut merasa tidak enak badan?”

         “Lha iya lah, Pak. Emangnya mentang-mentang tukang pijat, lantas badannya seger terus, begitu?”

         “Hehehe, saya kira tukang pijat itu sakti dan kebal peluru,” canda Pak Kapolres.

         Kang Kandar tertawa terkekeh-kekeh.

         Begitulah, di sela-sela memijat, Pak Kapolres selalu mengajak Kang Kandar bergurau dan bercakap-cakap. Di sisi lain, Kapolres sebagai pelayan umat tentu ingin menyerap kisah orang-orang kecil seperti dirinya. Baginya, cerita-cerita yang dilontarkan mereka membuatnya banyak memahami nasib orang-orang yang ia layani. Meskipun kadang terheran-heran juga menyaksikan Kang Kandar yang pantang mengeluh dan selalu murah senyum.

          Mengapa ia memandang hidup ini begitu indah, justru di saat orang-orang merasa stres dan depresi karena dilanda wabah corona dan pandemi Covid 19 saat ini?

         Pak Kapolres lama kelamaan ingin tahu rahasia yang dimiliki Kang Kandar, hingga akhirnya di hadapan Kang Kandar-lah keluhan-keluhannya terlontarkan. Konon, Pak Kapolres merasa kesal pada para koruptor dan penjahat kambuhan. Ia memahami para pecandu narkoba dan menghukumnya dengan hukuman setimpal, tetapi ia merasa jengkel kepada para bandarnya, yang selalu mencari-cari celah untuk bisa lolos dari jeratan hukum. Ia juga menyesalkan oknum-oknum pejabat dan polisi gadungan yang mengambil pungutan liar, hingga pengerukan tambang pasir di sekitar pemukiman penduduk. Orang-orang semacam itu tak akan segan menghambat laju pembangunan daerah, kalau kantongnya belum terisi penuh.

          Kang Kandar jadi semakin paham tentang suasana daerahnya. Di tengah pijatan nikmatnya, Pak Kapolres seringkali bicara tanpa sadar saat mata mulai diserang kantuk. Ia bicara apa adanya, bahkan tanpa rem. Mulut Pak Kapolres bukan lagi laiknya ember bocor, melainkan sudah jadi ember pecah. Ia seakan tak menyadari bahwa dirinya adalah aparat nomor wahid di kabupaten, sementara yang ia hadapi hanya seorang warga biasa, hanya seorang tukang pijat yang tak bisa melihat.