Pengamen yang Istimewa

Terpukaulah aku
Pada kidung tak biasa
Sepadan syair fatwa pujangga
Dari mata air kesejukan nurani

Dunia seniman itu unik. Memandang dunia dengan cara yang berbeda. Setiap seniman mempunyai cara pandangnya masing-masing. Bagi seniman muslim, terlepas dari pemikiran dan gaya hidupnya, asalkan tetap berpegang pada kitab suci dan ajaran nabi, sejauh itu kuat terjaga tak menjadi persoalan. Justru, yang demikian itu bisa membuat kita, yang barangkali termasuk orang biasa bisa bercermin kepadanya. Bercermin tentang kesederhanaan dan hakikat hidup.

Persoalan seni adalah persoalan rasa. Perjalanan keluar kota kemarin memberikan inspirasi saya untuk menuliskan catatan ini. Saya kebetulan diundang bersama 30 blogger dari Jawa Tengah dan Jogjakarta untuk mengikuti makan malam dan acara pembagian hadiah lomba blog yang diadakan oleh komunitas blog Semarang. Cerita tentang acara itu di lain kesempatan saja. Izinkan saya bercerita dulu tentang sepenggal kisah perjalanan yang saya rasakan.

Ya, seni adalah persoalan rasa. Sepanjang perjalanan Purwokerto, Magelang, Semarang, saya banyak menemukan seniman pengamen jalanan. Beragam lagu terlantunkan. Tapi hanya beberapa yang mengenakkan rasa. Dan, saya hanya terpukau pada seniman yang melantunkan lagu tentang kisah seorang anak kecil yang hidup di desa. Lagu itu dimainkan dengan petikan dawai gitar dan tiupan harmonika yang membuat suasana menjadi syahdu saja.

Bagi saya, dia termasuk pengamen istimewa, pengamen yang mempunyai jiwa seni. Di jalanan, tak banyak saya menemukan pengamen yang berjiwa seni. Ini menurut penilaian subjektif saya. Gitarnya sama, perkusinya sama. Tapi nilai rasanya akan berbeda ketika jiwa seni belum mengakar kuat dalam dirinya. Ini bisa terlihat dari penghayatannya dalam bermusik. Nah, sang pengamen istimewa itu memang berbeda.

Penghayatannya dalam bermusik begitu nampak. Ketika menyanyikan lagu balada tentang kehidupan anak kecil di desa, saya pelan-pelan mengikutinya. Di dalam bus yang sesak dan panas, suasana hati saya sedikit terhibur oleh pengamen itu. Lagu yang dibawakannya penuh penghayatan itu mengingatkan saya pada masa-massa kecil dulu. Bermain layang-layang di sawah, mengingat bebek-bebek yang mencari makan di sawah habis panen atau kerbau yang sedang digembalakan. Oh tak terasa kenangan sepuluh tahunan lalu teringat kembali.

Dan, kemudian tak terasa tiba-tiba wajah kedua orang tua saya seolah di depan mata. Ya, orang tua saya di desa. Sewaktu pulang, saya memang belum bisa berbagi cerita karena orang tua saya baru di Jakarta, ke tempat Abang saya yang baru saja melahirkan anak keduanya. Nah, perjalanan menuju Purwokerto ditemani seniman itu membuat saya termenung memandang keluar jendela bus membayangkan mereka dan suasana desa.

Hati saya bercampur aduk, tentang ingatan kembali ke kampung, tentang belum bisanya membahagiakan orang tua, tentang skenario masa depan yang belum nampak jelas kesuksesannya, dan tentang semakin senjanya hidup sementara belum banyak yang bisa diberikan untuk sesama.

Ketermenungan saya baru tersadarkan ketika sang pengamen mengulurkan tangannya untuk meminta uang. Saya ulurkan uang seribu rupiah untuknya karena saya suka cara dia nyanyi. Dan, tak terasa sedikit air menetes dalam isakan tangis pelan saya. Disebelah saya ada bapak-bapak, dan saya kembali memandang keluar jendela agar dia tak tahu isakan saya. Saya orangnya kasar tapi entah mengapa mudah sekali menangis. Semoga ini bukan pertanda kecengengan hidup. (yon’s revolta)

~Snow Man Alone~
Purwokerto, Rabu 22 November 2006
..
http://penakayu.blogspot.com