Segudang "Bagaimana?" untuk Aida

Namanya Aida. Dia bernyanyi dengan suara serak-serak kering. Susah payah. Terputus-putus. Belum selesai satu bait, bis mulai bergerak maju lagi. gadis kecil berbaju kusam itu buru-buru menyodorkan kantong recehnya pd penumpang. Seratus, dua ratus, ah… Berapalah yang dia dapat, tapi bibir kecilnya tetap menyunggingkan senyum kecil penuh kesyukuran.

Kaki kecilnya setengah melompat ke aspal yang panas. Lincah, karena sejak kecil ia melakukan itu. ia menepi, di bawah pohon di pinggir selokan. ia meraih boneka usangnya. Mungkin berharap bisa bermain sejenak sebelum bis berikutnya berhenti dan ia melompat kembali untuk bernyanyi, masih dengan suara sumbangnya…

Ia melintasi jalan-jalan kota yang panas, padat dan sering kali tak ramah. Lihatlah mata bening di antara wajah yang kusam itu, ada binar di sana. Entah apa mimpinya. Mungkin dia percaya, dia yakin nasibnya akan berubah. Atau.jangan -jangan dia bahkan tak mengerti tentang nasib yang bisa berubah dengan doa, dengan usaha. Mungkin ia mengira ia akan hidup seperti itu selamanya, seperti ibunya yang sering meneriakinya dengan kata-kata kasar. yang ia tau saatini tempatnyadi jalan-jalan, di bis, dengan kencrengan tutup botol. Alat musik yang begitu sederhana.

"Ah anak jalan. Kalo dikasih uang, mereka makin betah dijalan dan meminta-meminta seperti itu!" celetuk seseorang di dalam bis.

Lalu aku? Haruskah seumur hidupku melihat ketidakberubahan itu? Ia kecil, lemah, tak sekolah. Bagaimana nasibnya akan berubah jika kesempatan itu tak diberikan. Bagaimana ia bisa berusaha jika bangku-bangku sekolah begitu diskriminatif, menepikan mereka yang tidak memiliki segepok biaya sekolah. Bagaimana ia bisa berubah, jika manusia-manusia kota sibuk mengurus diri masing-masing.

Ketika pagi aku berangkat, dia sudah di sana. Ketika aku makan siang dengan keluarga dan menu cukup gizi, ia masih di sana, menggenggam plastik es teh. Sore ketika aku pulang, ia masih di sana. Pun ketika aku akan berbaring di kasur yang nyaman, entah ke mana ia akan pulang.

Lalu bagaimana ia akan berdoa, jika sempitnya hidup membuat ibunya tak sempat mengenalkannya pada sang Rabb, Ilah yang memberikan nyawa, nafas, darah, penglihatan, perasaan…ia tidak sempat berfikir bagaimana ia bisa berada di muka bumi yang panas ini, dan untuk apa? Bagaimana ia bisa berdoa, dengan bahasa dan cara apa, jika ia bahkan tidak tau siapa Tuhannya?

Dan aku? Dengan kecongkakan label mahasiswa dan aktivis, hanya menoleh pada peran-peran yang akan mendongkrak label besarku. Berpusar di sekitar masjid. Padahal banyak yang belum tau di mana letak masjid. Mengatakan kezuhudan, namun tak sempat menoleh untuk melihat mereka yang kepanasan dan kelaparan.

Lalu… Dengan wajah seperti apa aku mampu menghadapMU, Allah? Dengan jawaban apa, dengan alasan apa, karena ternyata di dalam diriku, hartaku, ada haknya. Haknya untuk kukenalkan padaMU. Haknya untuk 2, 5 bagian dari rizkiku yang Kau titipkan.

Maafkan aku…