Untuk Seorang Lelaki: I Love You

Laki-laki itu sudah tua. Lebih dari setengah abad umurnya. Kacamata selalu menemani hari-harinya. Keriput tua hampir sempurna berada di wajahnya. Ada lelah yang menggelayuti raut mukanya. Namun, raganya masih tampak gagah. Tetap menyiratkan semangat. Selalu ada senyuman menghiasi wajah tuanya. Ada segudang cinta di pelupuk matanya. Ada seribu kasih sayang dari dalam hatinya. Tersurat dengan sangat jelas. Bukan dalam bentuk kata-kata. Beliau sangat sedikit dalam berucap. Melainkan dalam tindakan dan perbuatannya. Nyata sekali.

Terakhir saya menemukan wajahnya ketika saya mudik ke kota kelahiran saat Idul Fitri 1427 H kemarin. Saat-saat bersama dengannya adalah waktu-waktu langka yang bisa saya temukan. Terkadang, kebersamaan itu hanya dalam hitungan hari. Tidak sampai pada hitungan bulan. Apalagi setelah saat ini, jarak yang jauh memisahkan saya dan beliau. Bukan hanya dalam hitungan meter. Tapi ada laut kecil yang memisahkan tempat kediaman kami berdua. Bersama dengannya, hanya sedikit kata-kata yang terungkap lewat bibirnya. Bahkan, untuk sekedar sebuah kata yang bernama kerinduan. Dan, sampai sekarang, masih seperti itu. Terkadang, kerinduan di hati saya padanya belum usai untuk mendengarkan cerita-ceritanya lewat telepon. Ada keinginan untuk mendengarkan ceritanya dengan lebih panjang. Tentang kesehatannya. Tentang hari-harinya. Tentang apapun darinya. Namun, tampaknya hal itu bukanlah kebiasaannya. Dan, akhirnya, saya menjadi lebih menyadari, begitulah beliau. Sedikit berbicara, tetapi banyak berbuat. Karena itulah, bagi saya, cukuplah apa yang beliau lakukan untuk saya menjadi bukti cintanya untuk saya. Menjadi pula bukti kasih sayangnya untuk saya. Itulah, cara beliau mengungkapkan kata cinta dan kasih sayang. Dan saya harus memahami hal itu.

Hampir di setiap kepulangan saya ke kota kelahiran, wajah tua itu selalu adalah yang pertama yang saya temukan. Beliau yang merelakan sebagian waktu tidurnya untuk menjemput saya di tempat akhir perhentian bis. Terkadang saat-saat matahari belum nampak di ufuk timur. Namun, di kali yang lain, ketika sang surya sudah menampakkan wajahnya, saya lebih memilih menggunakan angkot. Bukan karena beliau menolak untuk menjemput saya. Bukan..bukan karena itu. Cuma saya tidak tega, terus-terusan memberatkan beban di pundak beliau. Dan, akhirnya, akan ada kecewa di wajah beliau. ”Kenapa tidak nelepon dulu. Kan bisa dijemput?”, begitulah tanya beliau.

Wajah tua itu juga yang selalu mengisi hari-hari masa kecil dan masa remaja saya. Dengan cintanya. Dengan kasihnya. Dengan sayangnya. Setiap hari. Teringat akan larangan beliau yang tidak membolehkan saya untuk menginap di sebuah acara perkemahan. Saya memang marah pada beliau saat itu. Dalam hati tentunya. Saat ini, setelah puluhan tahun kejadian itu terjadi, barulah saya mengerti kalau larangan itu adalah bukti cintanya yang lain. Beliau khawatir dengan saya. Dan beliau mengungkapkannya melalui larangan itu.

Sepeda motor honda tua warna merah adalah teman bagi beliau melalui hari-harinya. Sepeda motor itu pula yang mengantarkan beliau menunaikan kewajibanya sebagai seorang guru SD di kota kelahiran saya. Sampai saat ini, sepeda motor honda itu tetap menjadi teman bagi beliau. Mengantar beliau kemana saja. Ada momen yang sangat membekas di hati saya. Mengenai beliau dan sepeda motor honda tua warna merah itu. Teringat di benak saya, rutinitas beliau di pagi hari hari sebelum beliau berangkat ke tempat beliau mengajar. Mengantar saya ke sebuah SMP tempat saya sekolah dengan mengendarai sepeda motor honda tua warna merah itu, itulah yang beliau lakukan untuk saya. Biasanya, beliau akan sedikit berbelok menuju sekolah saya sebelum akhirnya meneruskan rute yang seharusnya beliau lewati untuk menuju tempat sekolahnya. Rute sekolah saya memang berbeda dengan rute sekolah tempat beliau mengajar. Ini adalah cara beliau yang lain dalam mencintai saya.

Beliau sangat mengutamakan pendidikan saya. Beliau rela mengorbankan apapun untuk pendidikan saya. Juga untuk saudara dan saudari saya, tentunya. Beliau rela mengorbankan sesuatu yang bernama kemewahan demi pendidikan kami. Beliau tidak hanya sekedar berteori. Terlalu banyak bukti atas prinsip beliau. Masih teringat di benak saya saat beliau rela untuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang lumayan besar untuk menghargai nilai sembilan di rapor SD dan SMP saya. Tidak hanya saya. Saudara saya juga. Saudari saya juga. Tidak tanggung-tanggung. Satu angka sembilan dihargai dengan seribu rupiah. Momen-momen pembagian rapor adalah saat-saat yang sangat membahagiakan kami. Saya, kakak dan adik saya. Saat itu berarti, kami akan mendapatkan uang jajan yang lebih. Lumayan besar pula, untuk ukuran kala itu.

Tidak hanya itu. Rumah kami adalah bukti lain prinsip beliau. Rumah itu adalah rumah yang sederhana. Bahkan hingga kini. Berbeda dengan deretan rumah mewah yang berada di sepanjang deretan rumah kami. Bukan karena beliau tidak mampu menyinggahkan sedikit kemewahan di rumah kami. Beliau lebih suka gajinya dialokasikan untuk pendidikan kami daripada sekedar membeli sebuah kemewahan yang akan menghiasi rumah kami. Dulu, kala saya masih berdiam di kota kelahiran, ada malu di hati saya ketika teman-teman akan berkunjung ke rumah saya. Maklumlah, saat itu, saya masih sangat egois. Belum mengerti tentang perjuangan beliau untuk kami. Tapi, tidak saat ini. Saya sudah menyadari kesalahan saya. Saat ini, rumah itu adalah rumah kebanggaan saya. Setiap petaknya meninggalkan kesan cinta beliau. Di mana pun di bagian rumah itu. Di teras. Di ruang tamu. Di ruang TV. Di kamar tidur. Bahkan, di dapur. Saat ini, senantiasa saya merasa rindu menatap rumah itu. Kerinduan yang harus saya tahan, sampai Idul Fitri menjelang.

Setiap anak, Insya Allah, mempunyai rejekinya masing-masing. Itulah kata-kata beliau yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga saya. Sampai kini. Beliau senantiasa memompakan kata-kata itu pada kami, saya dan saudara-saudara saya, saat-saat masa-masa sulit itu menghampiri keluarga saya. Saat-saat kami harus menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan. Namun, semangat tidak menyerah selalu ada di wajah beliau. Semangat itu pula yang membuat kami bertekad untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk beliau. Menyelesaikan kuliah kami.

Alhamdulillah ya, tidak terasa, akhirnya, kalian bisa menyelesaikan sekolah kalian, begitulah beliau berucap. Kata-kata itu saya dengar ketika saya sudah menyelesaikan kuliah saya. Itu adalah kata-kata lain yang meninggalkan sendu di hati saya. Kala itu ada riak kecil yang menyelinap di hati saya. Hampir saja membentuk telaga di kedua pelupuk mata saya. Saya yakin, kata-kata itu adalah puncak perjuangan beliau untuk melewati masa-masa sulit itu. Dan saya senantiasa menemukan raut muka bahagia di wajah beliau. Dalam foto wisuda kami. Senyum itu selalu sama.

Itulah tentang beliau.

***

Kasih ibu tiada bertepi Kasih ayah sepanjang jalan Kasih teman selagi baik Kasih saudara selagi ada

Bait lagu itu adalah penggalan lagu yang sering saya lantunkan ketika masa kecil. Kini, lagu itu mengingatkan saya pada beliau. Beliau adalah seorang laki-laki yang teramat saya sayangi. Beliau adalah seorang laki-laki yang kepadanya saya ingin memberikan cinta dan kasih saya. Beliau adalah seorang laki-laki yang untuknya segala rasa hormat saya persembahkan. Yah, memang benar, beliau adalah bapak saya. Orang tua kandung saya. Seorang laki-laki yang darahnya mengalir dalam tubuh saya. Seorang laki-laki yang semangatnya selalu menginspirasi saya. Seorang laki-laki yang cinta dan kasih sayang tidak pernah putus untuk saya, sepanjang jalan kehidupan saya. Dari dulu, dan hingga sekarang. Dan sampai kapanpun, walaupun suatu saat nanti, ada waktu yang membuat kami harus berpisah.

Laki-laki tua itu itu memang tidak pernah bertutur secara lisan tentang sebuah cinta dan kasih sayang. Tapi, apa yang beliau lakukan untuk saya, sampai dengan sekarang, adalah tutur lain tentang cinta dan kasih sayangnya.

Bulan Februari adalah bulan yang sangat berarti bagi beliau. Tidak hanya untuk beliau, tapi juga untuk saya, anaknya. Bulan ini adalah bulan lahir beliau. Tanggal 2 Februari, tepatnya. Dan saat ini beliau memasuki umur 54 tahun. Sebuah umur yang sudah terbilang menjelang senja. Di hari bahagia beliau ini, ingin sebuah kata yang saya persembahkan untuk beliau. Sebuah kata yang belum pernah saya ungkapkan kepada beliau. Sejak dulu. Saya teramat malu mengungkapannya. Namun, tidak untuk saat ini. Saya tidak lagi malu mengungkapannya. Semoga kata ini bisa mewakili cinta saya untuknya. Semoga kata ini bisa menjadi kado terindah di hari lahir beliau. Bapak, I love you. Inga sayang bapak.