“Ismaiiiill…ini buku matematikmu, jangan lupa dong soleeh..” lengkingku memecah kesunyian pagi, membuat ayam-ayam menjadi enggan berkokok.” Aisyah ayo cepat kumpulkan semua isi dalam kotak pensilmu, sudah pukul berapa ini..?!” jeritku lagi penuh rasa sayang sekaligus geram melihat anakgadisku yang sudah menjadi akhwat kecil masih sibuk saja melihat berita Palestina di depan komputer. Dan tak luput juga teguran untuk bungsuku terlucu, yang dengan mulutnya yang monyong – monyong sibuk menghafalkan ayat-ayat qur’an al zalzalah : “hari ini ulangan tahfidz mi…” katanya lucu. “ Iyaa…nak, umi tahu, tapi sudah pukul berapa ini, kalau kamu masih duduk di karpet dan belum juga berangkat, maka umi khawatir, kamu tidak diperbolehkan ikut ulangan tahfidz, bukankah jam pelajaran tahfidz itu yang pertama…?” jelasku lirih, karena tak tahan melihat wajahnya yang innocent dan akhirnya dengan terlebih dahulu mencomot sepotong lagi roti coklat setelah menghabiskan sepiring nasi goreng, maka sulungku mencium tanganku dan mengelus pipiku yang berkeringat dengan hidungnya yang basah sambil berbisik : “pergi dulu mi, sabar ya mi..” diikuti akhwat kecilku yang hanya bergumam lirih : “ihh umiii..orang aku lagi asyiikk, kasihan tahu mii…mesir di tutup, dan berton-ton makanan tak boleh masuk.” dan diapun merenggut tanganku dan menciumnya tergesa. Tak lupa si bungsu dengan mulutnya yang kecil menciut-ciut mendorong tas ransel kecilnya dan meminta aku mencium pipinya, sambil berbisik : “sabar umii…kata bu guru, orang sabar disayang ALLAH, Umi mau kan disayang ALLAH, kalau enggak masuk neraka loh miii.”Subhanalloh, ketika akhirnya tepat pukul 6.45, ketiga mujahid kecilku berlalu, aku mencuci muka dan bersiap dengan pekerjaan rumah tangga berikut sambil bergumam lirih : “pagi yang dasyat, fiuh…”
Sejenak aku teringat ketika suatu hari aku mengantar anakku ke sekolah dan aku melihat bagaimana seorang anak bertubuh subur mendorong gurunya dengan badannya dan berteriak sambil memeluk sang guru : “ Mister Pilaaan…”
“Assalamu’alaikum soleh, how are you today..?” demikian sapa sang guru lembut pada sang anak. Akupun kemudian tergoda untuk diam sesaat dan mengintip ke dalam kelas melalui kaca jendela (peraturan di sekolah ini, orangtua tidak boleh ada dalam sekolah setelah pukul 7 pagi, kecuali ada keperluan khusus).
Didalam kelas aku melihat, bagaimana seorang guru membimbing 14 anak dalam sebuah kelas dan dengan tekun mengajarkannya satu persatu, kalau tak salah hari itu, mata pelajaran Arabic, sang guru mengangkat flashcard dan anak-anak serentak menjawab : “baa..bun…kursiyuuun,” dan seterusnya. Kemudian sang guru mendekati seorang anak yang mengantuk dan menggelar lagi flashcard (kartun bergambar di depan meja sang anak) dan mengajarkannya lagi satu persatu.
Pagi itu aku melihat, betapa konsep kelas kecil mampu membuat sang guru tetap tersenyum lembut, memberi perhatian penuh pada anak yang sedang tak semangat, mengetahui permasalahan sanganak dengan lebih jelas. Dengan konsep kelas kecil dimana satu kelas muridnya hanya 12 sampai paling banyak 16 dengan satu orang guru, maka kurasa, sangat ideal bagi sebuah sekolah meletakkan pendidikan pada siswa-siswi. Dan teringat aku pada pagi hariku yang dasyat, hanya dengan 3 anak saja aku sudah lintang pukang menyiapkan berbagai keperluan mereka, apalagi bila anakku 16, apalagi bila anakku 30 atau 40?
Terbayang guruku ketika aku masih kecil dahulu, satu kelas guruku mengajar 40 anak sekaligus, Subhanallah betapa penatnya mereka. Tak heran bila yang kuingat sampai sekarang adalah lengkingan suara dari Bu Dewi yang harus melawan 40 suara anak-anak dan juga terbayang kembali kepayahan guru olahragaku Pak Sutar dengan pluit yang selalu bertiup mengatur 40 anak berbaris. Subhanallah, betapa aku mulai mengerti arti penting bagi seorang pendidik bila muridnya hanya sedikit, tentu saja dia akan lebih mampu mencurahkan kasih sayangnya dan memberi perhatian lebih, dan yang utama…pasti lebih sabar.
Maka, ketika pagi yang dasyat telah lewat, hari ini aku mendapat pelajaran dasyat : “aku…mengasuh anak 3 saja sudah tak sabar, bagaimana dengan seorang guru yang mengasuh 40 anak sekaligus..?” Laa hawla walaa quwwata illa billah aliiyul adzhiim.