Benteng Terakhir (Pengantar)

Selat Bosporus di tahun 1900 Angin semilir menghembus pohon-pohon di pantai. Aroma air asin tak terasa amis maupun mengganggu. Matahari belum tampak, namun cahayanya sudah membentuk bayang-bayang indah menyoroti dinding istana Dolma Bahce. Di tepi pantai seorang anak lelaki duduk menikmati subuh. Ia baru saja shalat dan kini melipat alas shalatnya sebagai tempat duduk. Pagi ini ayahnya akan pulang. Matanya sebentar-sebentar nanar menatap ke mulut Selat Bosporus, menanti sosok bayangan kapal sang ayah. Kelak ia akan melaporkan pada ayahnya bahwa kemarin ia sudah berhasil menghafal surat Al-Kahfi, ayahnya akan senang, karena itulah cita-cita ayahnya, yaitu agar ia kelak menjadi ulama Al-Qur’an. Damai di sisi Istana di tepi Selat yang memisahkan 2 benua tersebut.

Al-Hamra ditahun 1326 Taman-taman indah, pohon rindang di halaman istana yang cantik. Batu-batu berwarna menjadi batu pijakan, di rembang senja seolah bersinar di temaram maghrib. Suasana yang damai. Dikejauhan terdengar dengungan merdu, sejumlah remaja sedang menderas bait-bait indah dari kitab terindah sepanjang masa. Damai. Itu yang terasa.

Kufah ditahun 140 H Siang panas dimusim seperti ini terasa menyengat. Di bawah kubah minaret angin berhembus perlahan, menyampaikan segarnya oksigen yang dihasilkan sederet pohon di sekitar masjid megah di tengah kota yang gagah. Sejumlah pemuda duduk-duduk berbincang di selasar masjid, obrolan-obrolan bermanfaat, seputar makna khusyu’ dan cara mencapainya. Suasana musim panas tak sampai membuat pembicaraan menjadi buntu maupun panas. Yang ikut mendengarkan akan tertarik untuk mempraktekkan khusyu’…..sebab khusyu’ adalah ilmu yang bernilai tinggi yang bisa menghantarkan pengamalnya ke tempat yang lebih indah dari tempat ini…Syurga Jannatun Na’im. Damai….itu juga terasa di sini. Dimusim panas di Kufah di tahun ini.

Madinah Al-Munawaroh ditahun 629 M Bilal baru saja turun dari tempatnya melantunkan adzan. Ummat bergegas mencari segayung air untuk membasuh dan kemudian dengan langkah tenang dan mantab, setiap orang mendatangi masjid untuk bersujud kepada Rabb Yang Maha Mencipta. Burung-burung terbang bergegas di langit, dalam formasi yang indah. Temaram sisa cahaya matahari membentuk bayang-bayang indah ke halaman masjid mulia. Dari dalam masjid terdengar ayat-ayat merdu dilantunkan dari hati yang bersih. Suara yang mulia Nabi SAW terdengar lantang dan merdu mengimami shalat maghrib. Tiada tempat dan suasana yang lebih damai dari ini di dunia sepanjang masa.
————————————————–

Darahhhhhh, darah mengalir membasahi bumi Syam, hampir 15 abad setelah Nabi yang mulia (SAW) meramalkannya. Ya, bumi Syam sedang di embargo, darah mengalir disetiap sudut bumi yang dulu disebut Syam ini. Ini Gaza, di sini ada darah…..
Tidak! Di sini tidak ada damai, yang ada adalah darahhhhhh.

Seorang wanita berhijab berjalan tergesa sambil setengah menyeret putra blasterannya. Berwajah melayu dengan putra berambut coklat berhidung mancung, dengan kulit agak coklat seperti ibunya. Namanya Salim Spencer, ayahnya dulu bernama Mark Spencer, sekarang Muhammad Spencer. Sang ibu, Juwita Spencer, orang Indonesia yang menikah dengan asli Amerika. Ia bernafas lega begitu melangkah ke apartemen tempat tinggalnya. ”Fhuiih…., what a day! I certainly don’t want to go there anymore!”. Salim bertanya dengan lirih berhati-hati: “Why are they so cruel to us mommy?”…..Segera sang ibu sadar, ia harus melindungi anaknya dari perasaan terancam, masalah psikologis yang sering melanda anak-anak muslim di sini akhir-akhir ini, di kota kecil di Amerika. Juwita segera mengalihkan perhatian anaknya kepada belanjaan yang mereka bawa: “Ooh look Salim, our ice cream nearly melt, let’s put it into the fridge first, before it melts, I know how much you hate milky strawberry juice….he he” Kemudian ia terus berbicara dengan anaknya tentang berbagai hal sampai Salim tampak kembali ceria. Dua jam kemudian Salim tampak asyik mendengarkan nasyid dari David Warnsby Ali dan Juwita duduk tenang membaca majalah muslimah. Tenang dan damai di sini, dalam rumah ini, dalam benteng ini…..tapi tidak di luar sana……

Hawa dingin menusuk di ketinggian pegunungan Hindukush Afghanistan, November 2001. Bukit batu terjal tampak bopeng-bopeng setelah dihantam bom Amerika. Seorang wanita berpurdah menatap kelu pada reruntuhan bangunan di depannya. Sisa-sisa darah masih tampak di tanah yang beku. Rumah yang runtuh itu kemarin adalah benteng perlindungannya, kini hancur….Hancur bersama jasad sang suami dan 2 putranya. Hancur se-hancur hatinya…..Tidak ada lagi benteng di sini, tidak juga damai…………..

Benteng-demi-benteng telah berjatuhan, sejak kejatuhan negeri-negeri yang jauh…..Istana Sultan Turki sudah takluk. Al-hamra tak lagi mengumandangkan adzan. Kufah menjadi kota yang berperang. Sudah sejak awal abad ini, benteng kekhalifahan terakhir tak ada lagi.
Apakah masih ada benteng yang tersisa?
Seorang anak sibuk bermain butiran-butiran sagu berwarna bak mutiara. ”Ummi, Ummi, kapan dimasak? Aku mau lihat!”. Sang ibu masih sibuk mempersiapkan masakan berbuka, keringatnya mengalir di pelipis namun wajahnya tampak teduh, ”Sebentar sayang.” Di ruang tamu terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari radio yang sedang menanti saat adzan ashar. Suasana Ramadhan terasa sampai ke sudut-sudut rumah. Si sulung baru saja menutup mushafnya setelah menamatkan juz 12. Hari ini hari ke 12 Ramadhan. Anak kedua dan ketiga sedang mengikuti tilawah di radio dengan menyimak mushaf masing-masing. Hanya si bungsu yang belum bisa membaca mushaf, namun di usianya yang ke empat ia sudah menamatkan buku Qiroa’ti 3. Damai di sini…. dalam rumah tangga ini. Dengan seorang ibu yang sabar, yang mampu memotivasi anak-anaknya untuk menghormati Ramadhan dan Al-Qur’an, di tengah-tengah lingkungan yang menganggap televisi sebagai sebagai barang yang wajib ditonton setiap saat. Di tengah dunia penuh dengan iming-iming materi. Ini bentengmu wahai kaum muslimin. Ini benteng terakhirmu masing-masing. (san)