Hadiah Haram Pejabat Publik (Bag 4 Habis)

Pada pembahasan bagian kedua, telah kami uraikan dalil dari Al Quranul Karim. Pada bagian ketiga, kami telah uraikan dalil dari hadits nabawiyah yang tegas melarang pejabat menerima hadiah. Pada bagian ini terakhir ini, kami uraikan dalil dari atsar salaf, fatwa ulama dan pembahasan masalah kontemporer.

Dalil Ketiga, Salafush Shalih

Salafush shalih adalah istilah yang dinisbatkan kepada generasi terdahulu umat Islam, yang merupakan generasi terbaik yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in. Nabi menjamin "keterbaikan" mereka dalam sebuah hadits shahih.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ

Dari ‘Aisyah dia berkata, seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Siapakah sebaik-baik manusia?". Beliau menjawab, "Yaitu masa yang aku hidup di dalamnya, kemudian generasi kedua, dan generasi ketiga." (HR Muslim)

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radliallahu ‘anhu menanyai seorang pegawai baitul mal yang pulang membawa banyak hadiah, "Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?" Pegawai tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar itu, Umar lantas membacakan sabda nabi yang kami kutip sebelumnya (tentang Ibnu Al Latabiyah) dan menetapkan hadiah itu untuk kas negara.

Terukir pula nama seorang Umar lain, yaitu Umar bin Abdul Aziz (lahir 63 H) dari kalangan tabi’in, cicit dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, dibesarkan di bawah bimbingan sahabat Ibnu Umar radliallahu ‘anhum, masyhur dengan keadilan, kejujuran, kezuhudan terhadap dunia dan kecakapan sebagai pemimpin, sehingga sering disebut sebagai khalifah kelima. Di masa akhir jabatannya yang hanya 2 tahun 5 bulan, sangat sulit mencari penerima zakat karena kehidupan rakyat yang sejahtera. Inilah sosok pemimpin yang adil sehingga mensejahterakan rakyatnya, bukan pemimpin yang memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya lalu lupa keadilan untuk rakyatnya.

Bagaimana sikap beliau terhadap hadiah untuk pemimpin? Dari sebuah atsar yang shahih disebutkan:

اِشْتَهَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ التُّفَاحَ فَلَمْ يَجِدْ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا يَشْتَرِ بِهِ، فَرَكِبْنَا مَعَهُ، فَتَلَقَّاهُ غِلْمَانُ الدِّيرِ بِأَطْبَاقِ تُفَّاحٍ، فَتَنَاوَلَ وَاحِدَةً فَشَمَّهَا ثُمَّ رَدَّ اْلأَطْبَاقَ، فَقُلْتُ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ، لَا حَاجَةَ لِي فِيْهِ، فَقُلْتُ، أَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ يَقْبَلُوْنَ الْهَدِيَّةَ؟ فَقَالَ، إِنَّهَا لأُولَئِكَ هَدِيَّةٌ وَ هِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ

Umar bin Abdul Aziz ingin memakan apel, namun dia tidak mendapati di rumahnya sesuatu yang bisa digunakan untuk membelinya. Kami pun menunggang kuda bersamanya. Kemudian dia disambut oleh pemuda-pemuda biara dengan piring-piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu mengembalikannya ke piring. Aku pun bertanya kepadanya mengenai hal itu. Maka dia berkata, "Aku tidak membutuhkannya". Aku bertanya, "Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?". Dia menjawab, "Sesungguhnya ia bagi mereka adalah hadiah dan bagi pejabat sesudahnya adalah suap".

Imam Ibnu Hajar menjelaskan, Umar bin Abdul Aziz radliallahu ‘anhu menyamakan hadiah untuk pejabat sebagai suap. Orang yang menerima suap disebut murtasyi, orang yang menyuap disebut rasyi, orang yang menjadi perantaranya disebut ra’isy. Sementara telah disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi tentang laknat bagi orang yang menyuap, mengambil suap dan yang menjadi perantara suap.

Makna yang disebut oleh Umar bin Abdul Aziz terdapat pula dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ath Thabrani,

هَدَايَا الْعُمَّال غُلُولٌ

Hadiah-Hadiah Untuk Pegawai Pemerintah Adalah Pengkhianatan. (Imam Ibnu Hajar menyatakan sanadnya dhaif). [30]

Perkataan Beberapa Ulama

Imam Asy Syafi’i rahimahullah ketika membahas tentang hadits Ibnu Al Latabiyah itu mengatakan "diharamkan bagi petugas untuk menyegerakan mengambil hak terhadap orang-orang yang ditangani urusannya." [31]

Di dalam Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum Pemerintahan), Imam Al Mawardi rahimahullah menjelaskan bahwa siapa pun yang diangkat sebagai hakim tidak diperbolehkan menerima hadiah dari salah satu pihak yang berperkara atau dari seseorang warga di daerah kerjanya, kendati orang tersebut tidak mempunyai lawan dalam satu perkara, karena bisa jadi ia bertindak tidak adil dalam jabatannya. [32]

Imam Al Mawardi mengutip hadits:

هَدَايَا اْلأُمَرَاءِ غُلُولٌ

Hadiah-hadiah para gubernur adalah hasil curian (HR Baihaqi, sanadnya lemah) [33]

Jika hakim menerima hadiah dan gajinya dipercepat kepadanya dalam bentuk hadiah tersebut, ia berhak memilikinya. Jika gajinya tidak dipercepat kepadanya dengan hadiah tersebut, maka baitul mal (kas negara) lebih berhak terhadap hadiah tersebut jika ia tidak bisa mengembalikan hadiah tersebut kepada pemberinya, karena kas negara lebih berhak terhadap hadiah itu daripada sang hakim. [34]

Syaikh Ibnu al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sebagian siswa yang memberikan hadiah kepada guru-guru perempuannya bertepatan dengan adanya suatu moment tertentu, sebagian dari guru-guru itu ada yang masih mengajar mereka, sebagian lainnya tidak sedang mengajar mereka akan tetapi ada kemungkinan kelak guru-guru tersebut akan mengajarkan mereka di tahun-tahun berikutnya dan sebagian lagi adalah guru-guru yang tidak mungkin akan mengajarkan mereka seperti guru-guru yang sudah keluar. Maka apakah hukumnya?

Syaikh menjawab bahwa untuk keadaan yag ketiga (gurunya sudah keluar) maka tidaklah mengapa. Adapun untuk keadaan yang lainnya—pertama dan kedua—maka tidaklah dibolehkan walaupun hanya sekedar hadiah melahirkan atau yang lainnya karena hadiah semacam itu dapat menjadikan hati guru tersebut condong kepadanya. [35]

Mudah-mudahan cukup jelas bagi kita apa hukumnya menerima hadiah bagi para pejabat negara. Dalil diriwayatkan secara shahih dari nabi, dan diuraikan oleh ulama yang diakui dunia.

Jauh sebelum konsep good governance dimatangkan dan digadangkan belakangan ini, Islam sudah mengaturnya secara jelas. Inilah salah satu contoh kecil dari syari’ah Islam, seperangkat aturan hidup (way of life) yang amat lengkap untuk keselamatan dunia dan akhirat. Inilah nikmat Allah untuk kita. Tapi mengapa kita berpaling dari syari’ah? Nikmat Allah mana lagi yang mau kita dustakan?

Beberapa Kejadian Kontemporer

Yang amat memprihatinkan adalah, di sebuah negara di mana ada 200 juta lebih muslim hidup, budaya memberi upeti kepada pejabat ini justru amat subur, tidak usah kita hitung mafia anggaran atau proyek.

Sudah tidak aneh ada orang yang baru menjabat lalu kaya raya mendadak. Malahan terkadang, niat untuk masuk ke pemerintahan atau parlemen, salah satunya adalah karena banyaknya hadiah yang akan diterimanya nanti. Rasa malu karena kaya mendadak setelah menjabat sudah tidak ada. Benarlah apa yang dikatakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

"Sesungguhnya yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR Bukhari)

Carilah pejabat eselon satu atau dua di Indonesia yang hanya punya sepeda motor atau satu mobil sebagai kendaraan pribadinya. Akan sulit. Tentu kita tidak langsung menuduh mereka korupsi dan mereka pun akan menolak bahkan bisa menuntut balik kalau dikatakan korupsi. Tapi mudahnya, tinggal dihitung saja berapa penghasilan resmi mereka per bulan, lalu berapa total kekayaan yang ada.

Salahkah mereka kaya? Tidak salah juga, bisa jadi memang warisan orang tua. Yang jadi masalah adalah, kalau cara menjadi kaya itu dengan memanfaatkan jabatan, tidak usah kita sebut praktek kotor seperti mark up anggaran misalnya, kebiasaan menerima hadiah atau gratifikasi saja sudah sangat merusak. Setelah diberi hadiah, akan timbul hutang budi kepada pemberi, akan hilang sikap adil, dst. Secara alamiah saja, manusia sudah sulit untuk adil, ditambah pula ada kecenderungan kepada pihak tertentu yang selama ini sudah menanam budi dalam bentuk hadiah-hadiah untuk para pejabat itu. Itulah sebabnya Islam melarang ini secara tegas.

Kalau ada yang jujur dan hidup sederhana, malah dianggap aneh. Pernah kami mempunyai tetangga pensiunan perwira menengah sebuah kesatuan elit TNI, orang yang kami ketahui sangat menjunjung tinggi integritas, ketika pensiun beliau hanya punya satu motor tua, bukan moge tetapi yang biasanya dipakai pengojek. Sang menantu bercerita kepada kami, dulu sebelum menikah, ketika tahu calon mertuanya perwira satuan elit, dia memperkirakan mobilnya paling tidak ada dua.

Kita ambil dua contoh yang masih segar. Dalam sesi wawancara terbuka ‘Seleksi Calon Hakim Agung RI’ di Gedung Komisi Yudisial bulan Juli 2011 yang lalu, seorang hakim mengaku kerap menerima hadiah. Ia berkata, "Saya sering terima tanda mata, berupa Ayam, Singkong, tapi saya tahu itu bukan semata-mata untuk suap. Melainkan ucapan terimakasih yang iklas," [36]

Apakah kalau dia bukan hakim, dan duduk-duduk saja di rumah engkongnya, maka akan ada orang mengirim ayam dan singkong ke rumahnya?

Hadiah ini kadang dilabeli dengan "ucapan terima kasih", kadang dilabeli dengan "balas jasa". Seorang anggota DPR RI dengan tenang mengatakan "Saya sering disebut sebagai pengumpul duit partai, tapi saya bukan calo." [37]

Apakah kalau dia bukan anggota parlemen, dan duduk-duduk saja di rumah orang tuanya, lalu kepala daerah mau mendekati dan menghadiahi dia?

Hadiah ini terkadang berupa sesuatu yang kelihatannya ahsan (baik). Seperti naik haji atau umrah. Pernah seorang rekan kami menceritakan bahwa temannya yang anggota parlemen dihadiahi oleh mitra kerjanya, pergi umrah ke tanah suci. Bagaimana ini? Bukankah menerima hadiah bagi pejabat negara hukumnya haram? Bagaimana kalau hadiahnya umrah?

Berarti ini umrah dengan dana haram. Sahkah umrahnya? Bisa saja sah, meskipun ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Diterima Allah kah? Tidak. Ini bukan perkataan kami, tapi perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Hal ini sudah kami bahas pada tulisan kami "Amal Shalih Dengan Uang Syubhat atau Haram?" [38]

Ada pula yang berkata, "Bagaimana jika hadiah itu diterima saja, daripada ditolak dan jatuh ke tangan orang kafir? Bukankah lebih baik jatuh ke tangan kita dan kita salurkan sebagai amal shalih? Kita tidak ingin menggunakan uang itu, tapi hanya menyalurkannya kepada masyarakat."

Kami sungguh prihatin terhadap alasan seperti ini. Kalau nabi sudah melarang, maka itu harus dijauhi, full stop. Nabi sudah mengharamkan, maka hukumnya tetap haram sampai hari kiamat. Ini hal yang amat mendasar di dalam Islam. Kalau alasan-alasan atas nama amal shalih itu dibenarkan, mengapa tidak sekalian membuat peternakan babi, pabrik bir atau kasino, di mana kita tidak akan menggunakan keuntungannya, tapi daripada uangnya diambil orang kafir, lebih baik ke tangan kita, bisa jadi amal. Na’udzubillah min dzalik.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi menyitir hadits nabi

وَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

Dan janganlah kamu menghalalkan larangan-larangan Allah dengan siasat murahan (HR Tirmidzi dari Abu Abdullah bin Bathah)

Syaikh Qaradhawi menjelaskan, termasuk perbuatan siasat yang berdosa adalah menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain. [39]

Penutup

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi nasehat untuk kami, keluarga kami, saudara-saudari kami yang bekerja di pemerintahan dan para pembaca umumnya.

Buat saudara-saudari kami yang berkiprah di pemerintahan dan penyelenggara negara, jangan anggap remeh masalah hadiah ini. Betul ini sudah lazim, betul orang sekeliling kita cuek menerima hadiah dari rekanan, tapi nabi kita sudah melarang tegas. Jangan pula mencoba untuk mencari-cari siasat pembenaran ketika nabi sudah menegaskan larangannya. Sungguh tragis, ketika kita menolak makanan haram seperti daging babi dan minuman keras, tapi di sisi lain kita menerima hadiah karena jabatan. Sesuatu yang mungkin kita sambut gembira, tapi ternyata membinasakan di hari akhirat kelak. Na’udzubillah min dzalik.

Buat saudara-saudari kami yang berkiprah di pemerintahan dan penyelenggara negara, tetaplah menjaga malu. Malu adalah bagian dari iman. Tetaplah menjaga integritas dan berjuang walaupun di sekeliling kita sudah mabuk harta semua. Kalaupun tinggal kita sendiri, maka berjuanglah sendiri. Sahabat Abu Dzar Al Ghifari radliallahu ‘anhu mati dalam kesendirian di tengah padang gurun karena mempertahankan prinsip dan warisan sang nabi. Kebenaran tidak ditentukan dari mayoritas, tapi dari compliance dengan Al Quran dan as sunnah.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Catatan/Referensi/Bahan Bacaan:

[30] Ibid., Kitabul Hibah, Bab Orang Yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu.

[31] Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Al Umm, Bab Zakat, Sub Bab Hadiah Yang Diberikan Kepada Petugas Pemerintah Yang Berhubungan Dengan Tugasnya.

[32] Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Bab Jabatan Hakim, Sub Bab Hadiah Untuk Hakim.

[33] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari ‘Ali bin ‘Umar bin Muhammad Al Hadrami, dari Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman, dari ‘Abdul Wahhab bin Adh Dhahhak, dari Ismail bin ‘Ayyasy, dari Yahya bin Sa’id, dari Abi Humaid As Sa’idi radliallahu ‘anhu.

Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman disebut mudallis.

‘Abdul Wahhab bin Adh Dhahhak disebut pendusta dan haditsnya ditinggalkan oleh Imam Abu Hatim.

[34] Al Mawardi, op. cit.

[35] Sigit Pranowo, Rubrik Ustadz Menjawab, Hukum Hadiah dari Murid/Ortu Murid, Eramuslim, 20/01/2010.

[36] Detik.com, Hakim Agung Hindarilah Hadiah Walau Hanya Singkong dan Ayam, 22/07/2011.

[37] TempoInteraktif.com, Penunggang Alphard ‘Pengawal Anggaran’, 23 Mei 2011.

[38] Ibnu Asri Ibnu Abbas, Amal Shalih Dengan Uang Syubhat atau Haram?, Eramuslim, 18/07/2011.

[39] Yusuf Al Qaradhawi, Halal Haram Dalam Islam, Bab 1, Bersiasat Terhadap Sesuatu Yang Haram Tetap Haram.