Nasib Rule of Law dan Rule by Ruler’s

Beralasankah menimbang pembedaan perlakuan hukum untuk kasus  kerumunan, diletakan pada perspektif di atas? Penggunaan hukum  “hasutan” atau yang pada pemerintahan Pompey disebut “seditio” itu terlihat mulai mudah dijumpai dalam kehidupan mutakhir sekarang. Hukum “penyebaran berita bohong, yang membuat onar” yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946, terlihat yang semakin sering untuk digunakan.

Sembari menanti munculnya keberanian orang untuk menganalisisnya, terasa masuk akal bila kenyataan empirik itu menggoda orang mempertanyakan derajat validitas konstitusional atas tampilan rule of lawmutakhir. Rule of law atau rule of ruler? Menarik dianalisis pada waktunya.

Konsep rule of law dalam alam demokrasi, mengharuskan siapapun menerima rule as a law. Bukan ruler’s as a law. Norma-norma UUD 1945 memaksa siapapun untuk mengerjakan rule of law  dalam karangka itu. Begitulah para pendiri bangsa yang hebat-hebat itu berharap.

Salus Populi Suprema Lex Esto, karena itu, mutlak dipertalikan dengan rule of law dalam kerangka norma-norma UUD 1945. Salus Populi Suprema Lex Esto, yang tak ada seorang waras pun menyangkal urgensinya itu, tidak bisa dianggap justifikatif hanya penilaian ad hoc semata. Tiba saat, tiba akal.

Berkerangka kerja konstitusional seperti itu, mengakibatkan identifikasi “keamanan nasional” atau keamanan individu atau masyarakat, harus dipertalikan dengan norma hak asasi manusia yang didefenisikan dalam UUD 1945. Yang ini absolut dalam semua aspeknya.

Norma-norma itu, terlepas dari apakah mewakili pandangan liberal klasik atau tidak, merefleksikan klaim moral, yang Eamon Butler, dalam bukunya Clasical Liberalism, diterbitkan pertama kali oleh Institute of Economic Affair (IEA), tahun 2015, menggambarkan justice require force, but force requires justification. Tidak bisa sewenang-wenang. Begitu esensinya.

Justifikasi sosiologis atau hukum? Justifikasi sosiologis memungkinkan terjadinya reduksi atas objektifitas. Pilihan konstitusionalnya adalah justifikasi hukum. Mengapa? Rule of law mengharuskan siapapun menerima hukum sebagai hal objektif, dan melarang pertimbangan-pertimbangan subjektif. Hanya begitu pilihannya. Bukan selain itu.

Bentuk empirik dari subjektif itu terefleksi dari sikap anti kelompok ini, pro kelompok itu. Kelompok ini begini dan kelompok itu begitu, persis yang dipraktekan Nazi pada Hitler. Rule of law dan ilmu hukum jelas dalam soal itu. Subjektifitas tidak diberi tempat dalam penegakan hukum. Pahami itu baik-baik.

Rule of law secara absolute mengharuskan aparatur memelihara pikiran dan tindakannya dengan objektifitas. Penegakan hukum, harus, tanpa alasan, memenuhi prinsip-prinsip due process of law atau due process clause. Prinsip-prinsip ini tersebar dalam UUD 1945, KUHAP dan peraturan lainnya.

Mengesampingkan prinsip-prinsip itu, sama dengan membawa bangsa ini terjatuh ke dalam kubangan fasisme dan totalitarianism. Seluruh aspek kehidupan ditentukan oleh pemimpin. Bukan soal rule of lawakan tergantikan dengan rule by ruler’s. Tetapi penyankalan terhadap hakikat alamiah manusialah yang menjadi masalah besar.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.