Peranan Akhlak Dalam Da’wah

Dalam bukunya Bagaimana Menyentuh Hati, Abbas As-Siisy mengatakan bahwa permasalahan yang menghadang seorang penyeru di jalan Allah ta’aala (da’i) adalah permasalahan yang muncul dari dalam dirinya. Sebagaimana dalam pepatah bahasa Arab dikatakan:

فاقد شئ لا يعطيه

”Orang yang tidak memiliki sesuatu, tak mungkin bisa memberikan apa-apa.”

Sesorang yang tidak memiliki kunci, maka sulit baginya untuk masuk. Manusia yang hatinya terkunci sehingga sulit dimasuki oleh da’wah, bagaikan brankas besar yang sebenarnya dapat dibuka hanya dengan kunci yang kecil. Demikianlah persoalannya. Sesungguhnya berpulang kepada diri sang da’i itu sendiri, yakni menyangkut potensi dirinya secara ruhiah, di samping kecakapannya untuk membuat program serta ketahanan dalam mewujudannya.

Jika kita tahu bahwa setan menyusun program untuk para pengikutnya dengan langkah-langkah yang bertahap, maka sudah selayaknya sorang penyeru di jalan Allah ta’aala menyusun program dan langkah-langkah untuk merebut hati sasaran da’wahnya. Sungguh sangat berbeda antara tujuan setan dengan tujuan orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, tidak pantas bagi orang beriman untuk merasa lemah mental ketika terlibat dalam the battle of hearts and minds (pertarungan merebut hati dan fikiran umat manusia).

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah ta’aala apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah ta’aala Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa ayat 104)

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa kedua belah fihak sama-sama menghadapi rintangan dalam da’wahnya masing-masing. Para penyeru di jalan Allah ta’aala menderita kesakitan.Sedangkan pasukan setan yang berda’wah di jalan thaghut juga menderita kesakitan. Tapi satu hal yang pasti ialah bahwa tujuan aktifitasnya berbeda. Para da’i senantiasa mengharap dari Allah ta’aala sesuatu yang tidak diharapkan oleh para penyeru di jalan thaghut. Orang beriman jelas mengharapkan Ridho dan Rahmat Allah ta’aala. Sedangkan pasukan musuh hanya mengharapkan sesuatu yang dibatasi oleh dunia yang fana ini.

Mungkinkah seorang da’i mengajak orang lain kepada Rahmat Allah ta’aala tanpa memberikan kasih sayang kepada sasaran da’wahnya? Jika tatapan mata yang dipenuhi dengan rasa iri dan dengki dapat memberikan mudharat, maka tentunya tatapan mata yang dipenuhi rasa iman dan kasih sayang akan menimbulkan cinta dan keimanan.

Perasaan dan kasih sayang adalah ”bahasa” internasional yang dipergunakan oleh penyeru di jalan Allah ta’aala dalam menghadapi seluruh penduduk bumi, hingga kepada orang bisu sekalipun.

”Bahasa” ini ibarat mata uang yang ditetapkan untuk dipakai oleh setiap negara secara internasional. Dengan ”bahasa” inilah generasi pertama ummat ini menaklukkan dunia. Mereka adalah lentera kehidupan. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda mengomentari seorang sahabat mulia sebagai berikut:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang disukai Allah ta’aala: lemah-lembut dan sabar.” (HR Muslim 24)

Mengapa generasi awal ummat ini, yakni para sahabat radhiyallahu ’anhum begitu mulia akhlaknya? Karena mereka menyaksikan dan meneladani pemimpin mereka yang sungguh akhlaknya sangat mulia, yakni Nabiyullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Demikianlah Allah ta’aala abadikan performa penuh pesona Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dalam ayat sebagai berikut:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran ayat 159)

Kemuliaan akhlak Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, para sahabat radhiyallahu ’anhum dan salafush-sholihin terdahulu bukanlah sebuah tampilan basa-basi untuk meraih keuntungan duniawi ketika berinteraksi dengan manusia. Mereka mengembangkan akhlak mulia karena memang perintah Allah ta’aala. Di samping itu mereka sangat meyakini bahwa akhlak mulia merupakan salah satu senjata ampuh untuk menembus hati manusia yang sebelumnya kafir agar terbuka hatinya menerima iman dan islam. Inilah peranan utama akhlak dalam kegiatan da’wah menyeru manusia ke jalan Allah ta’aala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.