How Democracies Die; Demokrasi Bisa Mati di Tangan Pemimpin Terpilih

Dalam semua kasus tersebut ini, demokrasi dibubarkan dengan cara yang spektakuler, melalui kekuatan dan paksaan militer.

Namun di sisi lain, para penulis menekankan bahwa sebenarnya ada satu cara lain untuk menghancurkan demokrasi. Cara ini memang tidak sedramatis atau sespektakuler kudeta yang menggunakan kekuatan. Akan tetapi dampaknya sama-sama destruktif.

“Demokrasi bisa saja mati bukan di tangan para jenderal, melainkan di tangan para pemimpin terpilih, (seperti) presiden atau perdana menteri yang menumbangkan proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan,” kutipan buku tersebut.

Sejarah mencatat, cara seperti ini pernah digunakan dan bahkan sebagian dari pemimpin yang menggunakan cara tersebut, berhasil membongkar demokrasi dengan cepat. Sebut saja Adolf Hitler setelah kebakaran Reichstag 1933 di Jerman.

Namun, lebih sering, cara tersebut mengikis demokrasi secara perlahan, dalam langkah-langkah yang nyaris tidak terlihat.

“Beginilah demokrasi sekarang mati. Kediktatoran yang terang-terangan – dalam bentuk fasisme, komunisme atau kekuasaan militer- telah menghilang di sebagian besar dunia. Kudeta militer dan perampasan kekuasaan lainnya jarang terjadi. Sebagian besar negara mengadakan pemilihan biasa,” begitu kutipan dari buku tersebut.

“Demokrasi masih mati, tetapi dengan cara yang berbeda. Sejak akhir Perang Dingin, sebagian besar kerusakan demokrasi disebabkan bukan oleh jenderal dan tentara tetapi oleh pemerintah terpilih itu sendiri,” sambungnya, seraya menyebut sejumlah negara di mana para pemimpin terpilih telah menumbangkan lembaga-lembaga demokrasi, seperti Venezuela, Georgia, Hongaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.

Penghancuran demokrasi tidak kasat mata

Jika dalam kudeta, indikasi perebutan kekuasaan dan penghancuran demokrasi tampak jelas di depan mata. Hal itu terlihat dari, misalnya, istana presiden yang dibakar, pemimpin yang dibunuh, dipenjara atau dikirim ke pengasingan, kekerasan yang terjadi di jalanan, atau bahkan konstitusi yang ditangguhkan atau dibatalkan.

Namun, hal semacam itu tidak terlihat dalam upaya penghancuran demokrasi melalui cara kedua, yakni melalui pemimpin terpilih. Melalui cara ini, tidak ada kekerasan di jalan. Bahkan konstitusi dan lembaga demokrasi lainnya juga tetap masih ada.

Lantas, bagaimana cara ini bisa mematikan demokrasi?

Para pemegang kekuasaan tidak jarang menumbangkan demokrasi dengan cara yang justru bersifat “legal”, dalam arti disetujui oleh badan legislatif atau diterima oleh pengadilan.

Bahkan upaya-upaya semacam itu kerap digambarkan sebagai upaya untuk meningkatkan demokrasi, seperti upaya membuat peradilan lebih efisien, memberantas korupsi, atau membersihkan proses pemilihan.