How Democracies Die; Demokrasi Bisa Mati di Tangan Pemimpin Terpilih

“Surat kabar masih terbit, tetapi dibeli atau diintimidasi menjadi swasensor. Warga masih mengkritik pemerintah, tetapi sering kali menghadapi masalah pajak atau masalah hukum lainnya. Ini menimbulkan kebingungan publik. Orang tidak segera menyadari apa yang sedang terjadi. Banyak yang terus percaya bahwa mereka hidup di bawah demokrasi,” kutipan buku tersebut.

Situasi semacam ini justru menimbulkan bahaya tersendiri. Pasalnya, tidak ada momen tunggal seperti kudeta, deklarasi darurat militer, atau penangguhan konstitusi, di mana rezim secara jelas “melewati batas” menuju kediktatoran. Sehingga tidak ada hal yang dapat memicu lonceng peringatan masyarakat.

“Erosi demokrasi, bagi banyak orang, hampir tidak terlihat,” kutipan buku tersebut.

Otoritarian berkedok demokrasi

Kedua penulis menerangkan, jika mau melihat lagi sejarah, sebenarya para pemimpin yang menghancurkan demokrasi dari dalam, memiliki rekam jejak yang jelas yang mengindikasikan bahwa mereka memiliki potensi untuk menghancurkan demokrasi.

Misalnya saja Adolf Hitler yang pernah memimpin kudeta yang gagal. Atau Hugo Chavez yang juga memimpin pemberontakan militer yang gagal. Selain itu ada juga Blackshirts atau paramiliter Partai Fasis Nasional yang setia kepada Benito Mussolini.

Contoh lainnya, di Argentina pada pertengahan abad kedua puluh, Juan Peron pernah membantu memimpin kudeta yang berhasil, dua setengah tahun sebelum mencalonkan diri sebagai presiden.

Namun, para politisi tersebut tidak selalu mengungkapkan sepenuhnya toritarianisme mereka sebelum mencapai kekuasaan.

“Beberapa menganut norma-norma demokrasi di awal karir mereka, hanya untuk kemudian ditinggalkan,” kutipan buku tersebut.

Lalu, pertanyaan lainnya yang kemudian muncul adalah, bagaimana kita mengidentifikasi otoritarianisme pada politisi yang tidak memiliki catatan anti-demokrasi yang jelas?

Kedua penulis merujuk pada ilmuwan politik terkemuka kelahiran Jerman bernama Juan Linz. Sebagai seorang profesor di Yale, dia mengabdikan sebagian besar karirnya untuk mencoba memahami bagaimana dan mengapa demokrasi mati. Berdasarkan karya Linz, para penulis kemudian mengembangkan seperangkat empat tanda peringatan perilaku yang dapat membantu mengetahui indikasi seorang otoriter.

“Kita harus khawatir ketika seorang politisi; 1. Menolak, dalam kata-kata atau tindakan, aturan permainan yang demokratis; 2. Menyangkal legitimasi lawan; 3. Mentolerir atau mendorong kekerasan; atau 4. Menunjukkan kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media,” kutip buku tersebut. (*)