Belajar Qana'ah dari Thawus bin Kaisan

“Ada tiga orang saleh yang selalu menjauhi penguasa,” ucap Ibnu ‘Uyainah. “Mereka adalah Abu Dzarr pada masanya, Thawus pada masanya, dan Ats-Tsauri pada masanya,” lanjutnya.

Apa yang diucapkan Ibnu ‘Uyainah tentang Thawus bin Kaisan merupakan suatu hal yang menarik. Tabi’in yang lahir di masa kekhalifahan Utsman bin Affan ini dikenal begitu zuhud dalam hidupnya.

Pada masa kekuasaan Hajaj bin Yusuf, seorang utusan pernah disuruh raja untuk menyampaikan hadiah uang sebesar 700 dinar kepada Thawus. Satu dinar saat ini bernilai sekitar 1,8 juta rupiah untuk kadar emas tertentu.

Sebelum berangkat, sang utusan sempat diberikan pesan khusus: kalau Thawus mau menerima hadiah uang tersebut, maka utusan akan dapat hadiah berupa busana, dan kenaikan jabatan.

Setibanya di rumah Thawus, utusan itu mengatakan, “Wahai Abu Abdirrahman (panggilan akrab Thawus), ini ada sedikit hadiah yang dikirimkan Amirul Mukminin untuk Anda.” Tapi, dengan enteng, Thawus menjawab, “Aku tidak memerlukan hadiah itu.”

Sang utusan terus saja memaksa dan memelas agar Thawus mau menerima hadiah itu. Tapi, Thawus tetap menolaknya dan melemparkan hadiah uang itu ke lubang angin di rumahnya, kemudian ia pun pergi meninggalkan sang utusan terbengong sendirian.

Di luar dugaan Thawus, sang utusan berpura-pura gembira dan berlari menuju rombongan dan orang-orang di sekitar. “Thawus telah mengambilnya!” teriak sang utusan. Dan, ia pun mendapat hadiah yang dijanjikan Khalifah.

Para ajudan khalifah akhirnya melaporkan dugaan kebohongan itu. Dan, khalifah pun begitu marah. Ia menyuruh para ajudannya untuk memastikan kabar itu. Dan, mereka pun pergi menemui Thawus di rumahnya.

“Aku tidak mengambil uang itu,” tegas Thawus kepada para utusan khalifah yang kedua. Dari jawaban tegas Thawus, khalifah akhirnya memerintahkan utusan yang pertama untuk mengembalikan uang hadiah yang menurutnya telah diterima Thawus. Dan sang utusan pertama yang telah berbohong ini pun kembali menemui Thawus untuk mengambil kembali uang yang telah dilempar Thawus ke sebuah lubang angin.

“Wahai Abi Abdurrahman, aku datang kemari untuk urusan harta yang telah kubawa kepada Anda,” ucap sang utusan kepada Thawus.

“Apa aku pernah mengambil atau menerima sesuatu darimu?” ucap Thawus balik bertanya. Sang utusan itu menjawab, “Tidak!” Thawus mengatakan lagi, “Tidakkah kamu tahu di mana aku melemparkannya?” Sang utusan menjawab, “Ya, di lubang dinding itu!”

Utusan itu pun menjulurkan tangannya kedalam lubang angin. Dan ternyata, bungkusan uang itu memang masih ada di tempatnya, tapi sudah terselimuti sarang laba-laba karena waktu yang cukup lama. Sang utusan mengambil uang itu setelah sebelumnya memastikan jumlahnya yang tidak berkurang. Uang itu pun ia kembalikan kepada Khalifah.

Di waktu yang lain, seorang anak khalifah yang bernama Ibnu Sulaiman bin Abdul Malik datang menemui Thawus dalam sebuah majelis taklim yang ia pimpin. Tapi, Thawus bereaksi sedikit pun. Para hadirin ada yang mengatakan, “Putera khalifah duduk di dekat Anda.”

Salah seorang murid Abdullah bin Umar bin Khaththab ini pun tetap tidak bereaksi. Ia tidak mau menoleh ke arah putera khalifah. Di luar dugaan Thawus berkata, “Aku ingin memberikan pengertian bahwa Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar berlaku zuhud terhadap apa yang di tangannya.”

Ulama hadits yang meninggal dunia di Makah pada tahun 106 Hijriyah ini pernah memberi nasihat, “Seorang yang bertakwa kepada Allah dan senantiasa berdakwah, lebih baik dari yang hanya bertakwa kepada Allah tapi hanya diam.” ([email protected])/Min A’lam As-Salaf, Syaikh Ahmad Farid.