Catatan Edy Mulyadi: THR dan APBN Yang Ugal-Ugalan

Sengkarut perkara THR ini kian jadipabalieut setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ikut cawe-cawe. Melalui surat bernomor 903/3387/SJ, Tjahjo melimpahkan pembayaran THR dan gaji 13 kepada APBD.

Sayangnya, niat Tjahjo untuk membantu koleganya, justru makin menguak betapa APBN disusun dan dikelola dengan serampangan. Buktinya, pada poin keenam surat menyebutkan bagi daerah yang belum menyediakan/tidak cukup tersedia anggaran THR dan gaji 13 dalam ABBD tahun 2018, pemerintah daerah segera menyediakan. Caranya, dengan menggeser anggaran yang dananya bersumber dari belanja tidak terduga, penjadwalan ulang kegiatan dan atau menggunakan kas yang tersedia.

Lalu, poin ketujuh surat tersebut menyebutkan penyediaan anggaran THR dan gaji ke-13 atau penyesuaian nomenklatur anggaran sebagaimana tersebut pada angka 6 dilakukan dengan cara mengubah penjabaran APBD tahun 2018 tanpa menunggu perubahan APBD tahun 2018. Meski demikian, para kepala daerah harus segera memberitahukan kepada pimpinan DPRD paling lambat sebulan setelah dilakukan perubahan penjabaran APBD.

Praktik geser-menggeser anggaran karena tidak dialokasikan sebelumnya jelas membongkar kebohongan Sri. Menkeu yang satu ini dengan yakin dan percaya diri menyatakan, soal THR dan gaji ke-13 sudah dialokasikan dalam DAU. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Para bupati dan walikota kebingungan dan kelimpungan.

Pidana korupsi

Tapi, tahukah Sri, Tjahjo dan para pejabat publik lain, bahwa praktik geser-menggeser anggaran dalam APBD dan atau APBN tidak bisa sembarangan dilakukan? Kalau nekat, mereka bisa dikenai pasal-pasal pidana korupsi. Paling tidak, begitulah pendapat pakar hukum tata negara Margarito Kamis.

Menurut Margarito, dari segi tata negara dan hukum keuangan, memberi THR dan gaji ke-13 adalah hal yang lazim saja. Keganjilan baru terjadi bila keduanya tidak dianggarkan dalam APBN dan atau APBD.

Seperti diketahui, APBN dan APBD adalah produk hukum. Di tingkat pusat, APBN disahkan dengan Undang Undang. Sedangkan di daerah sah melalui Perda. Dengan demikian, jika sebelumnya tidak dianggarkan dalam APBN dan atau APBD, maka akibat hukumnya adalah Pemerintah tidak punya dasar hukum melakukan pembayaran THR dan gaji ke-13 itu.

“Pembayaran THR dan gaji-13 tidak dapat dipecahkan dengan cara menggeser mata anggaran dalam APBD. Bila Pemda melakukannya, maka tindakan itu absolut bertentangan dengan hukum. Dapat dipastikan pergeseran itu akan menjadi temuan oleh BPK. Surat edaran Mendagri tidak memiliki kapasitas hukum, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh Pemda menggeser anggaran. Bila Pemda memaksakan diri, maka potensi munculnya tindak pidana korupsi,” papar Margarito.