Habil Marati: Rasa Nasionalisme dan Patriotisme Apakah itu Makar?

habilEramuslim.com – Penistaan terhadap Surah Al-Maidah 51, yang dilakukan oleh Ahok di Pulau Seribu telah memberikan efek politik uncontrol, efek politik yang tidak terkendali ini telah membuat pemerintah dan Aparat Kepolisian panik, kepanikan kepolisian ini bisa kita lihat tehadap model penanganan kasus Al-Maida 51 ini terhadap aktor utama yaitu Ahok, sejak proses pelaporan, Fatmu MUI, sampai ditetapkannya Ahok sebagai tersangka oleh Kepolisian telah melahirkan ketegangan hukum serta ketegangan politik.

Ketegangan hukum bisa dilihat proses gelar perkara atas kasus Ahok ini telah melahirkan yurisprudensi baru pada tahap penyelidikan yang di luar kelaziman, tekan umat Islam terhadap penangan kasus Ahok ini membuat kepolisian tidak bisa menghindar dari fatma MUI, dimana MUI diakui sebagai legitimasi formal yang memberikan justifikasi atas penistaan Al-Maidah 51, meskipun sesungguhnya kepolisian terjadi konflik of interest, tapi lagi-lagi kepolisian harus mengambil keputusan untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka meskipun pahit.

Di samping itu tekanan politik atas perbuatan Ahok ini telah menimpulkan ketegangan politik baru yang menjangkau hampir semua sisi politik dalam kehidupan masyarakat, mulai isu ancaman kebhinnekaan, intoleran, isu pecahnya NKRI. Tekanan politik ini akibat efek dari aksi umat Islam yang meminta polisi untuk menegakan hukum terhadap Ahok, tapi justru dijawab oleh pemerintah dan sebagain masyarakat pendudukung plurarisme membuat demo tandingan dengan mengangkat tema parade kebhinekaan dan kebangsaan serta 412 yaitu Parade Kita Indonesia, justru memperlihatkan ketidakpahaman serta ketidakcakapan pemerintah dan sebagian masyarakat pendukung Ahok maupun sekuralisme atas gejolak penanganan penistaan Al-Quran oleh Ahok, hal ini menimbulkan sentiman politik yang tajam pada pemerintahan Jokowi dari umat Islam maupun tokoh-tokoh nasional.

Bagaimana Bisa Makar?

Telah saya sampaikan kasus Al-Maidah 51 ini telah melahirkan tekanan politik yang sangat tajam terhadap Jokowi, hal ini dipicu oleh kesan bahwa Jokowi melindungi Ahok, kesan ini dikaitkan dengan kasus-kasus yang melibatkan Ahok terhadap Sumber waras, Reklamasi serta pembelian bus-bus dari China semasa Jokowi masih jadi Guberbur DKI, serta diperucing oleh pernyataan politik Ahok di depan para politisi nasional, Ahok menyatakan bahwa Pancasila belum memiliki atap kalau minoritas belum jadi presiden. Pernyataan Ahok ini adalah Rasis, makar serta penistaan terhadap idiologi negara yaitu Pancasila, mestinya Ahok ditangkap juga sebab ini juga masuk kategori makar, penistaan Al-Maidah 51, maupun pernyataan Ahok bahwa Pancasila belum memiliki atap kalau minoritas belum jadi presiden. Kedua pernyataan Ahok tersebut di atas, telah mendorong lahirnya gerakan rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan bangsa pribumi asli, yang dipolopori oleh umat Islam, presentasi Panglima TNI di ILC TvOne yang dengan jelas menviulisasikan serta mengambarkan ancam nyata bangsa dan negara Indonesia dari kuning, hal ini memicu adrenalin bangkitnya gerakan solidaritas nasional, bangkitnya rasa nasionalisme dan patriotisme tidak hanya muncul dari aktivitas sipil tapi juga dari kalangan TNI yang dipelopori oleh gerakan umat Islam yang konstitusional.

Di samping itu pernyataan Ahok baik penistaan terhadap Surah Al-Maida 51 maupun penistaan terhadap Pancasila serta bangkitnya idiologi komunisme di Indonesia, serta diperburuk sikap Presiden Jokowi tentang banyaknya tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia ditenggarai banyak yang ilegal termasuk pemalsuan KTP, akte lahir dan kartu keluarga yang dilakukan oleh beberapa warga negara China, fakta-fakta ini sangat dihawatirkan oleh umat Islam termasuk tokoh-tokoh nasional. Bangkitnya  kesadaran nasionalisme dan patriotisme di kalangan bangsa pribumi memicu lahirnya kelompok-kelompok gerakan yang bersinergi satu sama lainnya dengan tujuan yang sama yaitu: meyakini bahwa presentasi Panglima di ILC adalah ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia, meyakini bahwa pernyataan Ahok mengenai pancasila belum memiliki atap apabila minoritas belum jadi presiden adalah ancaman terhadap Pancasila dan pembodohan rakyat serta tirani minoritas pada mayoritas, meyakini bahwa pelemahan terhadap eksistensi TNI dalam menjaga NKRI adalah ancaman terhadap bangsa dan negara, meyakini bahwa kosentrasi penguasaan ekonomi dan kekuasaan oleh minoritas China adalah ancaman terhadap bangsa Indonesia bersifat tirani, meyakini bahwa ancaman-ancaman nyata tersebut di atas telah memicu kesadaran serta bangkitnya nasaionalisme dan patriotisme untuk kembali pada jati diri bangsa Indonesia yaitu UUD 1945 ASLI.

Gerakan tokoh-tokoh nasional yang memperjuangkan kembali ke UUD 1945 apakah bisa dikategorikan gerakan makar? Demikian juga pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi membiarkan Ahok menista Al-Quran serta membiarkan Ahok menistakan Pancasila apakah juga dibenarkan secara konstitusional? Bagaimana seandainya rasa nasionalisme serta rasa patriotisme dalam jiwa bangsa Indonesis PADAM? Perlu diingat bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia ini diperoleh atas Jihad, jiwa nasionalisme serta jiwa patriotisme dari tokoh-tokoh Islam maupun dari dari tokoh tokoh nasional, pantaskah tokoh-tokoh Nasional serta purn TNI dituduh makar? Perlu dipikirkan.

Testimoni Amandemen UUD 1945

Saya adalah terlibat langsung dalam proses amandemen UUD 1945. Proses amandemen UUD 1945 sesungguhnya  bukan lahir dari kehendak rakyat, tapi dilahirkan dari konspirasi jahat yang bersifat idiologis, Mengapa saya sebut bersifat idiologis? Pertama, penghapusan TAP MPR tentang persyaratan untuk merubah 1945 harus melalui referendum. Kedua, kami anggota MPR dilantik pada 9 september 1999, sedangkan amandemen pertama 1945 disahkan 19 Oktober 1999, artinya draf amandemen pertama UUD 1945 telah disiapkan jauh hari sebelum anggota MPR dilantik, disamping itu kesepakatan semua fraksi di MPR bahwa mekanisme perubahan UUD 1945 adalah melalui mekanisme adendum bukan mekanisme amandemen.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses amandemen UUD 1945 adalah inkonstitusional dan tidak sah sebagai sebuah Konstitusi negara Indonesia. Disamping itu proses pengambilan keputusan yang ditempuh juga tidak mencerminkan quorum, karena tidak lebih 20 orang yang melakukan pembahasan pasal demi pasal dalam amandemen UUD 1945 adalah mereka mereka juga, penghapusan frasa kata ASLI hanya diusulkan oleh satu orang anggota MPR saja, sehingga proses amandemen UUD 1945 adalah cacat konstitusi. Perlu dipikirkan untuk kembali pada UUD45 Asli.

Apakah Polri Berwenang Menyatakan Suatu Perbuatan Politik Adalah Makar?

Dalam UUD 1945 Asli tidak ada satu pasal pun yang mengatur kewenangan Kepolisian bahkan tidak ada pasal yang menyangkut Kepolisian untuk melakukan tindakan hukum pada aktivitas masyarakat yang bersifat politik, demikian juga dalam UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945. Tugas dan wewenang kepolisian hanya diatur pada pasal 30 ayat 4 antara lain yaitu: menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum, pasal ini menjadi payung konstitusi dalam pembuatan UU kepolisian, UU yang mengatur tugas dan wewenang Kepolian tidak boleh bertentangan dengan payung konstitusi pasal 4 ini.

Berdasarkan ayat 30 ayat 4 mestinya kepolisian tidak berwewenang memasuki wilayah politik, karena kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga kalau misalnya rakyat menilai berdasarkan fakta-fakta politik bahwa tindakan-tindakan presiden mengancam keselamatan dan kedaulatan rakyat dan negara, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan mempunyai hak untuk meminta MPR untuk melakukan koreksi terhadap presiden. Tindakan tokoh-tokoh nasional untuk meminta MPR untuk melakukan sidang istimewa untuk kembali ke UUD 1945 asli adalah tindakan politik, bukan tindakan makar. Dan ini bukan domain kepolisian.

Bagaimana Dengan Legalitas Presiden RI?

Dalam konstruksi UUD 1945 asli, bahwa presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Mekanisme ini sesusi dengan amanat ideologi negara Indonesia Sila ke-4 Pancasila yaitu: kerayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ini adalah substansi demokrasi yang dibangun berdasarkan kedaulatan rakyat dalam sistem musyawarah mufakat berdasarkan sistem perwakilan (MPR), sistem demokrasi perwakilan (MPR) juga ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu sistem demokrasi yang digariskan serta telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan sistem demokrasi yang dikonstruksi dalam batang tubuh UUD 1945. Mengapa? Ya itu tadi Sila ke 4 yang terdapat dalam Pancasila maupun yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber legitimasi tertinggi kekuasaan presiden dalam mekanisme negara berdasarkan kedaulatan Rakyat.

Bagaimana dengan legalitas Kekuasaan Presiden RI berdasarkan UUD 2002? Pertama, terjadi kontradiktif antara sistem yang ditegaskan pada Sila ke-4 Pancasila maupun yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945 asli, pasal 6A ayat 1 dalam UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945 adalah nyata-nyata bertentangan dengan Sila ke-4 Pancasila maupun dalam pembukaan UUD45 asli. Demikian juga dalam sistem dan mekanisme serta tata cara konstitusional pemilihan Presiden yang diatur dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 2002 juga inkonstitusional, tidak sah dan mestinya batal demi hukum dasar. Mengapa? Coba kita lihat apa bunyi Pasal 6A ayat 2 UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945yaitu: pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum SEBELUM pelaksanaan pemilihan umum, kenyataannya Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik SETELAH pelaksanaan pemilihan Umum, ini sungguh-sungguh dan nyata-nyata inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945, legalitas kedudukan presiden kalau kita mengacu pada pasal 6A ayat 2 ini UUD 2002 adalah tidak sah dan batal demi hukum dasar.

Tapi pasal ini telah diyudicial review di MK, dimana dalam amar putusan 9 orang hakim MK, pasal 6A ayat 2 ini UUD 2002 baru diberlakukan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2019. Yang menjadi pertanyaan konstitusional kita adalah apakah hakim MK memiliki kewenangan Konstitusional menunda berlakunya pasal-pasal dalam UUD 1945 maupun UUD 2002 yang bersifat imperatif ini? Pandangan saya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan menunda berlakunya pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 ataupun pasal-pasal yang terdapat pada UUD 2002, bagaimana dengan legalitas dan legitimasi Presiden atas kasus ini ? Sesungguhnya Presiden dan Wakil Presiden tidak sah secara konstitusional, keabsahan dan legalitas Presiden dan Wakil Presiden hanya diperoleh dari 9 orang hakim MK melakui Yudicial review atas Pasal 6A ayat 2 UUD2002, meskipun secara Konstitusional MK tidak memiliki kewenangan menunda berlakunya pasal-pasal dalam UUD 1945 maupun pasal-pasal UUD 2002. Ini perlunya meluruskan kembali atas kekacauan konstitusi negara kita ini NKRI.

Dari hasil analis dan pandangan saya ini, dapat disimpulkan bahwa meluruskan konstitusi yaitu kembali ke UUD45 Asli adalah bukan gerakan makar, termasuk rakyat meminta MPR untuk mengingatkan dan meluruskan jalannya pemerintahan adalah bukan sebuah gerakan makar. Siapapun tidak boleh memadamkan rasa nasionalisme dan rasa patriotisme rakyat, manakala negara terancam,  yang diakibatkan Presiden salah mengurus negara dan lagi-lagi ini bukan perbuatan makar. Aksi politik dari tokoh-tokoh Nasional perlu didiskusikan lagi apakah ini domain kepolisian atau bukan. Semoga bermanfaat. [***]

Habil Marati, Penulis adalah mantan Anggota DPR RI