Mungkinkah Kapolri Baru Tolak Perintah Presiden?

Agungkan Konstitusi

Pak Hoogeng dan Pak Prapto, jelas, teladan dunia hukum negeri ini. Diseberang jauh, dunia baru saja menyaksikan kebesaran Mark Esper, Menteri Pertahanan Donald Trump ini memutuskan hubungan dengan Trump setelah secara terbuka menentang permohonan Insurection Act of 1807, terkait perintah Trump untuk penempatan pasukan aktif di kota-kota Amerika. Esper mengatakan bahwa “Pengawal Nasional paling cocok untuk melakukan dukungan domestik kepada otoritas sipil.”

Saya mengatakan ini tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan. Saya mengatakan ini juga sebagai mantan tentara, dan mantan anggota Garda Nasional. Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam dan situasi yang mengerikan. Top markotop Mark Esper.

Kami, kata Esper, tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Insurrection Act. “Hebat, Esper menemukan langkah-langkah di hari-hari berikutnya untuk lebih menurunkan situasi. Esper mengembalikan pasukan ke pangkalan mereka tanpa memberi tahu Gedung Putih. Dia begitu faham konstitusi. Sehingga dia faham dan tunduk hanya kepada konstitusi, juga prinsip-prinsip demokrasi. Super top Mark Esper.

Lain Esper, lain pula Jeffrey Rosen, Deputy Attorney General, meninggalkan jabatan yang disandangnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkarir di kementerian ini. Rosen memutuskan meninggalkan jabatannya, karena satu alasan yang khas konstitutional. Rosen menilai William Barr, Bosnya, telah menggunakan, mendedikasikan kementerian untuk kepentingan politik Trump, bukan untuk konstitusi.

Tragis, William Barr, sang Jaksa Agung, akhirnya juga frustrasi dengan perintah Trump. Karena Trump perintahkan Barr untuk menyediliki kecurangan pemilu, yang ternyata tidak ditemukan, justru membuat Trumph marah. Trumph juga marah, karena Barr dinilai tidak tuntas mengusut Hunter Biden, anak Joe Biden, Presiden terpilih.

Frustrasi dengan perintah Trump yang menyebalkan berbagai kalangan sejauh ini, karena dinilai merusak konstitusi, Barr kehilangan kemampuannya menjadi jongos Trump. Harga dirinya bergerak naik, dan menguat melemahkan energinya melayani administrasi Trumph.

Barr akhirnya menemukan dirinya sebagai laki-laki terhormat. Dia memilih meletakan jabatan itu. Selalu seperti sebelumnya, Trump mempersilahkannya, sembari mengucapkan terima kasih, member pujian politis kepada Bar (Lihat Spectrum News, Com. 23/12/2020).

Kepala polisi Capitol AS dan dua pejabat keamanan senior, juga memperlihatkan level integritasnya yang sama. Menyusul pendudukan dan pengrusakan Capitol Hill, mereka mengundurkan diri. Apalagi seiring terjadinya peristiwa jorok itu, kritik masyarakat bergerak naik. Polisi dinilai ceroboh menangani serangan kejam pendukung Trump terhadap  Capitol Hill.

Nancy Pelosi, House Speker dari Demokrat, terlepas dari kenyataan dirinya cukup sering berseberangan dengan Trump, mengecem aksi ini. Tidak sendirian di barisan, tokoh senior lainnyapun mengecamnya. Steven Sund, Kepala Polisi Capitol Hill, tidak ngeyel khas polisi-polisi kerdil, untuk kelalaiannya itu. Dia mengundurkan diri dari jabatan itu, terhitung efektif mulai 16 Januari nanti (The Guardian, 8/1/2021).

Presiden, dalam semua republik, tidak dapat disamakan, apapun alasannya, dengan konstitusi. Presiden tidak sama dengan hukum, apalagi hukum itu sendiri. Presiden adalah nama jabatan, yang pemangkunya (orangnya) dibebankan kewajiban melaksanakan konstitusi. Melaksanakannya juga harus adil.

Adil mensyaratkan presiden harus transparan, dengan argumen-argumen konstitusi. Presiden juga harus tahu dignity, dan humanity. Dia harus tahu equality before the law dalam semua aspek kehidupan. Presiden, harus tahu Polisi kita, dengan argumentasi apapun, tidak bisa dikonstruksi menjadi Polisi Presiden Republik Indonesia. Betul, presiden adalah satu-satunya figur tata negara memegang kewenangan melaksanakan hukum. Betul itu. Tetapi Polisi kita, bukan Polisi presiden.

Kepolisian kita adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Itulah status konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus memahami prinsip-prinsip konstitusi itu. Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus mengikatkan diri sepenuhnya pada konstitusi.