Diskriminasi Membuat Muslimah Inggris Sulit Dapat Pekerjaan Layak

Hanya karena mengenakan busana Muslim, banyak wanita Muslimah berkualitas di Inggris mengalami diskriminasi dalam bidang pekerjaan. Sebuah studi juga menunjukkan, gadis-gadis imigran asal Asia Selatan memiliki motivasi untuk maju lebih tinggi dibandingkan gadis kulit putih.

Seorang Muslimah bernama Saida Ahmad mengungkapkan pengalamannya saat wawancara kerja di sebuah bank. Orang yang mewawancarainya, kata Saida, hanya menatapnya saja dan terkesan tidak mau bicara dengannya.

"Di atas kertas, saya adalah orang yang ambisius, punya motivasi dan berpengalaman. Tapi ketika orang itu melihat bagaimana penampilan saya, dia berpikir,’Tidak, dia (Saida) tidak cocok dengan perusahaan ini," papar Saida,29, yang tinggal di Bradford.

Ia menegaskan, jilbabnya menandakan kekuatan, keteguhan hati dan kemerdekaan. "Ini soal berhadapan dengan sebuah budaya yang melihat kaum perempuan hanya sebagai obyek seksual dan soal pendirian tentang identitas bagi kaum perempuan yang berbeda dengan laki-laki," sambung Saida.

Sebagai seorang lulusan universita, Saida punya harapan untuk bisa memasuki dunia kerja dan meniti karir. Namun kini ia berhenti bermimpi, setelah sejumlah penolakan yang dialaminya, biasanya setelah tahap wawancara kerja.

Gadis Asal Asia Selatan Lebih Ambisius

Dari studi yang dilakukan oleh Equal Opportunities Comission (EOC), banyak Muslimah dan kaum perempuan dengan latar belakang imigran, mengalami nasib serupa Saida.

Studi itu menyebutkan, dari 1.500 kaum perempuan yang diwawancara, mayoritas mengalami apa yang mereka sebut sebagai ‘hukuman-hukuman etnis’.

Mandy, asli Banglades yang kini bekerja di sebuah organisasi seni mengalami apa yang disebut ‘hukuman etnis’ itu. Pada minggu pertama bekerja, ia mengenakan busana salwar kamezz dengan syal. Salwar Kameez adalah busana tradisional yang dikenakan masyarakat di Asia Selatan, berupa celana panjang longgar (salwar) dan atasannya berupa baju panjang (kameez).

Melihatnya berpakaian seperti itu, kisah Mandi, manajernya berkata,"Kamu seperti seorang teroris Taliban."

"Saya bertanya padanya mengapa ia berkata seperti itu. Dan dia bilang, kami orang Islam terlalu sensitif dan butuh pencerahan. Saya satu-satunya Muslimah. Di sana ada budaya di mana orang Islam tidak dianggap, sehingga setiap orang cenderung memperlakukan Muslim seperti itu," keluh Mandy.

Laporan EOC juga menunjukkan bahwa 90 persen kaum perempuan asal Pakistan dan Banglades mendapat gaji yang lebih rendah dan tingkat penganggurannya tinggi.

Menurut Ketua EOC, Jenny Watson, mereka mengalami perlakukan negatif karena busana yang menunjukkan identitas agama mereka dan dipaksa untuk menerima pekerjaan level rendah yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka.

"Mereka jelas-jelas mengalami rasisme dan sexisme yang begitu sulit dikendalikanm," ujar Watson.

Padahal, masih dari hasil studi tersebut, mayoritas kaum perempuan yang disurvei memiliki motivasi tinggi dan keinginan kuat untuk mendapatkan kebebasan dan sukses dalam karir mereka.

"Apa yang kita temukan di satu sekolah yang sama adalah, kaum muda asal Pakistan dan Banglades lebih ambisius dari kaum muda kulit putih. Mereka lebih memiliki aspirasi untuk mendapatkan posisi-posisi senior dan lebih banyak yang ingin menjadi sarjana," papar Watson.

Temuan ini diperkuat dengan pernyataan Vanessa Ogden, kepala guru di sekolah khusus perempuan Mulberry, Tower Hamlets di London Timur. Di sekolah ini, 97 persen siswanya asal Banglades dan 98 persennya Muslim. Menurut Ogden, mayoritas dari mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

"Gadis-gadi itu sangat ambisius dan orang tua mereka juga sangat ambisius terhadap anak-anaknya," kata Ogden. (ln/iol)