Ghaza, Lokasi Paling Berbahaya Nomor Lima di Dunia

Kesemerawutan, kemiskinan, ancaman keamanan, bencana kesehatan, itu gambaran akibat embargo yang dijatuhkan negara-negara barat atas rakyat Palestina. Nyaris semua sisi kehidupan sosial masyarakat Palestina berada di titik rawan. Hampir mustahil bisa menjalani hidup normal dalam suasana rawan seperti itu.

Hari-hari ini merupakan rangkaian kepedihan yang belum pernah dialami sebelumnya oleh warga kota Ghaza. Hingga mereka hidup dalam situasi sangat terjepit. PBB sendiri sudah mencantumkan Ghaza sebagai tempat paling rawan nomor lima di dunia, di nama nomor satunya adalah Baghdad, Irak. Lokasi paling rawan nomor lima di dunia itu menjadikan banyak relawan asingyang lebih memilih meninggalkan Ghaza ketimbang nyawa mereka terancam. Akibatnya, program bantuan kemanusiaan pun tersendat untuk sampai kepada lebih dari satu juta rakyat Palestina.

Bentuk rawan bahaya yang ada di Ghaza meliputi aksi penculikan yang terus menebar ketakutan pascadiculiknya seorang wartawan Inggris Alan Jonshon, juga serangan kelompok bersenjata yang diarahkan ke sejumlah tokoh penting yang menangani urusan bantuan dan aktifitas para pengungsi Palestina di Ghaza.

Sementara itu, Shaib Ariqat, kepala negosiasi dalam organisasi PLO, menyampaikan situasi dilematik yang akan dialami penduduk Ghaza setelah lokasi itu ditempatkan sebagai lokasi paling rawan nomor lima sedunia. “Tidak adanya program PBB dan ditariknya para relawan PBB dari Ghaza aka memunculkan bencana kemanusiaan dan menghalangi sampainya proyek bantuan kemanusiaan dunia Internasional, ” ujar Ariqat.

Ia mengatakan lagi bahwa, “Orientasi PBB yang mengambil langkah seperti ini sangat berbahaya sekali dan sangat disayangkan karena bisa membawa dampak besar terhadap kehidupan rakyat Palestina dan program PBB di Palestina. Ini akan semakin menambah kehancuran ekonomi rakyat Palestina. ”

Bantuan UNWRA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) sendiri terancam diputus dari 2, 1 juta rakyat Palestina di Tepi Barat dan Ghaza, karena pembiayaan operasional yang juga semakin berkurang sejak tahun 2001. Jubir UNWRA di Jenewa mengatakan, organisasinya sedang mengalami krisis keuangan untuk melanjutkan beragam program, karena proposal kegiatan yang sudah diajukan untuk tahun 2007 sebesar 246 juta dolar hingga saat ini belum cair kecuali hanya 11% saja, atau sebesar 28, 2 juta dolar. Ditambah lagi, praktek-praktek yang dilakukan penjajah Zionis Israel berupa penutupan jalan-jalan dan blokade yang berkelanjutan menjadi hambatan besar gerakan barang dan angkutan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

UNWRA bahkan mengakui bahwa organisasinya sudah menghentikan bantuan kepada ratusan ribu pengungsi Palestina yang kini mengalami krisis makanan. Padahal, 80% penduduk Ghaza bisa dikatakan sangat mengandalkan bantuan tersebut. (na-str/iol)