Kembali Menjadi Masjid, Begini Sejarah Hagia Sophia

Hagia Sophia menjadi rumah bagi Gereja Ortodoks Timur selama hampir 900 tahun. Selama itu pula bangunan dari abad ke 6 Masehi ini menduduki rekor sebagai Katedral terbesar di dunia.

Tetapi sempat dilarang pada periode singkat di abad ke-13, ketika tempat ini diubah menjadi Katedral Katolik Roma dibawah kontrol pasukan invasi dari Eropa selama Perang Salib Keempat.

Tetapi pada tahun 1453, Kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Mehmed II menguasai Konstantinopel dan mengganti namanya menjadi Istanbul, sekaligus mengakhiri Kekaisaran Bizantium untuk selamanya.

Saat memasuki Hagia Sophia, Mehmed II berkeras untuk merenovasi dan mengubahnya menjadi masjid. Dia menghadiri salat Jumat pertama di gedung itu.

Para arsitek Utsmaniyah kemudian menghapus atau menutupi simbol-simbol Kristen Ortodoks di dalam bangunan itu dan menambahkan menara ke dalam strukturnya.

Sampai penyelesaian pembangunan Masjid Biru di Istanbul pada 1616, Hagia Sophia adalah masjid utama di kota tersebut, dan arsitekturnya mengilhami pembangunan Masjid Biru dan beberapa masjid lainnya di sekitar kota dan dunia.

Masjid Biru di Istanbul terinspirasi oleh arsitektur Hagia Sophia.

Setelah berakhirnya Perang Dunia I pada 1918, Kekaisaran Utsmaniyah yang mengalami kekalahan, wilayahnya dipecah-pecah oleh negara-negara Sekutu sebagai pihak yang menang.

Namun, kekuatan nasionalis bangkit dan menciptakan Turki modern dari abu kekaisaran itu.

Pendiri Turki dan presiden pertama republik sekuler itu, Mustafa Kemal Ataturk, memerintahkan agar Hagia Sophia diubah menjadi museum.

Sejak dibuka kembali untuk umum pada 1935, tempat ini menjadi salah satu tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki.

Ditentang Yunani

Kepala Gereja Ortodoks Timur dan pemerintah Yunani menentang langkah Turki mengubah status Hagia Sophia menjadi masjid, karena bangunan itu dianggap rumah bagi jutaan pengikut Ortodoks.

Menteri Kebudayaan Yunani, Lina Mendoni, yang menuduh Turki menghidupkan kembali “sentimen nasionalis dan agama yang fanatik”, berkeras agar situs warisan dunia Unesco tersebut tidak diubah, tanpa ada persetujuan komite antarpemerintah.

Wakil Direktur Unesco, Ernesto Ottone Ramirez, dalam wawancara dengan surat kabar Yunani Ta Nea, mendukung usulan Yunani dengan mengatakan diperlukan adanya persetujuan yang lebih luas. (okz)