Ketika Sains Gagal Jelaskan Fenomena Kiamat dan Waktunya

Astrofisikawan yang masuk Islam 1987 itu kembali menegaskan bahwa sains bukanlah satu-satunya solusi yang mampu menjelaskan semua rahasia kehidupan. Apalagi menyangkut persoalan yang gaib, seperti akhirat, surga, langit ke tujuh, atau kiamat. Alasannya, kata dia, sifat sains yang terbatas.

Argumentasi ini bisa dengan mudah terbuktikan. Lewat sains, tutur dia, manusia memang berhasil mengamati jagad raya. Namun, sambungnya lagi, sains tidak bisa memberikan penjelasan dari realitas yang tidak terlihat. Disinilah kelemahan sains. ”Artinya, setiap realitas yang berhasil diobservasi, selalu menyisakan misteri baru dari realitas lain yang belum teramati,” jelas Bruno. Oleh karena itu, ia menyimpulkan, eksplorasi terus menerus sains terhadap alam yang teramati tidak harus menafikan realitas lain (realitas ultimate) yang diyakini oleh pemeluk agama.

Karenanya, lanjut Bruno, ini melahirkan sedikitnya dua cara untuk mengetahui kebenaran. Selain melalui penjelasan scientific juga lewat keyakinan spiritual. ”Misteri tentang manusia adalah misteri tentang sains itu sendiri. Termasuk fenomena surga dan akhirat bakal tetap menjadi misteri. Ini sesungguhnya menyangkut persoalan lain, yakni dimensi spiritual yang berasal dari hati,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, pakar kosmologi (asal-usul semesta) ini juga bercerita tentang teori big-bang. Teori yang dikenal sebagai teori dentuman besar ini menyatakan bahwa alam semesta terbentuk dari sebuah ledakan besar pada suatu titik.

Efek ledakan ini terus mengembang dan menyisakan alam semesta yang harmoni. ”Apakah yang terjadi sebelum big-bang, kita tidak tahu. Namun, pasti ada yang mendesain efek harmonis setelah ledakan itu terjadi hingga menciptakan alam semesta seperti sekarang. Yaitu Tuhan,” ungkap dia seraya menandaskan bahwa tedapat jembatan dialogis antara sains dan agama. (Rol)