13 Tahun Tsunami Aceh: “Abi Kami Tunggu di Surga…”

“Usaha dulu Mak, kalau belum datang ajal kita wajib berusaha.” Saya mencoba menyemangati mamak. Setelah mengambil nafas dan berdiam dengan bergantungan di pagar balkon, akhirnya dengan susah payah (waktu itu beliau mengenakan pakaian jilbab dengan pakaian bawah rok, sehingga agak menyulitkan) kami berhasil menariknya.

Saat itu di depan saya, saya berdua kepala lorong, melihat tangan Mutia Maida (salah seorang penulis Forum Lingkar Pena), tetangga sebelah rumah kami, menggapai-gapai. Saya mencoba menarik, tidak sampai. Ketika kepala lorong dua mencoba Bantu menarik, kira-kira tinggal dua jengkal lagi, datang air yang menyebabkan arus berputar. Tubuh Mutia tersedot ke bawah seiring dentuman tertutupnya permukaan air dengan papan dan rongsokan.

Tangan Mutia yang merah dengan tanda daun pacar, sebulan setelah pernikahannya, perlahan lenyap dari hadapan kami. Ya Allah …innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Perlahan air mulai tenang. Pada saat itu ada setengah jam setelah arus deras berlalu saya melihat pemandangan lain yang menyedihkan. Seorang anak laki-laki remaja, Dik Fani dari lorong empat (ibunya adalah kakak dari artis Aceh, Cut Yanti) terapung di air yang setinggi 5 meter dengan kedua lehernya terjepit kayu, saya mencoba menolong tapi tak ada tali yang dapat dipergunakan untuk menggapai lokasi dia yang hanya berjarak lima meter dari saya berdiri.

Akhirnya dengan meminta maaf saya tinggalkan dia….saya mencoba mencari tali, tapi yang ada cuma kain sarung saya dan itu tidak cukup menjangkau dia (belakangan dia selamat sendiri dengan mengapung pada papan sehingga bersambungan dengan sela-sela pagar balkon).

Saya berdua ibu naik ke atas balkon yang lebih tinggi. Pemandangan saat itu dipenuhi dengan orang-orang yang berada diatas atap rumah penduduk. Saat itu saya tak tahu keadaan anak istri saya.

Tepat jam 11.30 siang di antara kerumunan orang-orang yang mengungsi ke atas atap rumah kepala lorong dua, saya menemukan Eva, adik sepupu saya yang tinggal di lorong lima.

“Bang Ayi, tadi Eva lihat Kak Ita terakhir kalinya. Saat itu kami mencoba naik mobil kijang, lalu datang air yang menghantam pintu mobil hingga tertutup. Saya masih berada di luar mobil, sementara Kak Ita bersama Jihad ada di dalam mobil. Saya berteriak agar Kak Ita menolong saya, namun tidak berhasil.”

Dari cerita orang-orang lain saya belakangan mengetahui bahwa mobil itu terus mengapung dan Eva adik sepupu saya terbenam ke bawah mobil. Ketika arus deras datang sekali lagi, mobil itu tergulung, sehingga terbalik-balik dalam air berlumpur. Sementara Eva atas kehendak Allah tersapu air sampai selamat keatas bubungan atap perumahan Brimob.

Tepat jam 13.00 air mulai turun sepinggang, setelah dari jam 10.00 sampai jam 12.00 mencapai ketinggian lima setengah meter. Orang-orang mulai turun mencari sanak saudaranya. Saat itu saya mencoba turun ke air, tapi dilarang oleh kepala lorong dua, karena melihat kondisi saya yang masih sakit malaria dan tidak boleh terkena air (saya shalat dengan tayamum).