Journey to Uighur: Mengalahkan Ketakutan Di Urumqi

International Grand Bazaar menyediakan aneka rupa barang. Dari kebutuhan sehari-hari, hingga aneka kerajinan khas Uighur, seperti alat musik tradisional rebana dan oud (gitar yang biasa digunakan untuk bermain musik gambus), topi khas Uighur yang disebut dopa, dan beragam souvenir.

Salah satu komoditi laris dari daerah ini adalah buah yang dikeringkan. Lapak-lapak penjual aneka buah kering terlihat berderet dari pintu depan. Kismis dari berbagai jenis anggur, plum, aprikot, kurma, teh dari bunga kering, dan sebagainya.

Dan sebagai penggemar teh, saya membeli beberapa jenis teh dari aneka bunga yang dikeringkan. Aromanya wangi. Sedap betul. Rasanya, teh seperti ini tidak ada di Indonesia.

Sebagai salah satu destinasi turis, harga yang ditawarkan berlipat. Kismis yang dijual Akima di Tuyoq Valley sekilo hanya 30 CNY (setara Rp 60.000), di pasar ini ditawarkan mulai 75 CNY.

Tentu saja semua barang bisa ditawar. Jangan khawatir terkendala bahasa, karena mereka menyediakan kalkulator yang bisa digunakan untuk tawar menawar.

Saya berhasil menawar satu kilo kurma kering dari harga 180 CNY menjadi 80 CNY (setara Rp160.000). “You are good at bidding,” puji pemandu saya selama di Uighur, Mr Chang. Rupanya dia senang melihat kemampuan menawar saya. Cara makan kurma kering ini dipotong-potong tipis. Jadi semacam sale pisang kalau di sini. Rasanya enak sekali.

Setelah lelah berputar kesana- kemari mengelilingi pasar, Mr. Chang mengajak kita makan. Saya langsung memberi kode ke Lambang untuk bergantian shalat nanti.
Ini adalah kali pertama saya dan Lambang harus shalat di tempat umum. Sebelumnya kita selalu bisa mengatur waktunya untuk shalat di hotel atau di mobil.

Mr Chang tidak pernah secara eksplisit mengatakan kita tidak boleh shalat. Seperti halnya secara tegas ia mengulang-ulang larangan untuk memotret check poin, polisi dan tentara yang sedang bertugas.

Pun saya yakin dia juga tahu saya dan Lambang beberapa kali bergantian shalat di dalam mobil. Hanya, kita sama-sama tidak ingin saling “menyulitkan”. Dia tutup mata saat kami melakukannya. Saya juga tidak ingin membuatnya mendapat kesulitan karena shalat di tempat umum.

Saya mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul saat Lambang shalat. Sehingga perhatiannya teralihkan. Usai Lambang shalat, saya mau ke toilet dulu. Rupanya toilet tidak berada di dalam restoran. Ada toilet umum di dekat deretan restoran itu.

Di depan toilet ada pelataran yang tertutup tembok yang tidak terlalu tinggi. Tadi sewaktu saya datang ada beberapa orang berdiri merokok di situ. Semacam tempat untuk merokok sepertinya.

“Wah, saya bisa shalat di sini,” batin saya sambil masuk toilet.
Keluar dari toilet, orang-orang yang tadi merokok sudah tidak ada. Segera saya menyempil di salah satu pilar dan mengangkat takbir. Tiba-tiba ada tiga orang polisi berpatroli di depan tembok rendah itu.