Tinjauan Sejarah, Politik Etnis Cina di Indonesia

Tercatat, ada beberapa nama aktivis etnis Cina saat itu, seperti Sofyan Wanandi/Liem Bian Koen (Universitas Indonesia – PMKRI/Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Soe Hok Gie (Universitas Indonesia – Gemsos/Gerakan Mahasiswa Sosialis). Kemudian Han Wie Sing dari GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) yang tertembak dalam suatu aksi, Soe Hok Djien (Arif Budiman), kakak kandung dari Soe Hok Gie.

CSIS (Center for Stategic and International Studies)

Ring-1 Soeharto, yakni Ali Moertopo dan Sudjono Humardani bersama dua saudara Wanandi (Sofyan Wanandi dan Yusuf Wanandi), ekonom Prof. Panglaykim, serta Pater Beek (Vatikan), warga AS yang sangat anti Soekarno, dan Harry Tjan Silalahi (Sekjen Partindo yang juga etnis Cina) mendirikan CSIS (Center for Strategic and International Studies), lembaga think tank yang sangat berpengaruh pada Kebijakan politik dan ekonomi sejak 1967-1988.

Lembaga inilah otak dari kebijakan politik dan ekonomi, Sofyan Wanandi, juga juru bicara konglomerat Indonesia yang dikenal dengan Kelompok Prasetiya Mulya (Tapos). Kelompok ini dipimpin oleh Liem Sioe Liong, banyak menentukan arah kebijakan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru, di luar kelompok Berkeley (Prof. Widjojo Nitisastro dkk.).

Sementara CSIS sebagai lembaga yang mempengaruhi Soeharto, dua spri ring-1 Soeharto (Ali Moertopo dan Sudjono Humandani) kadangkala berbenturan dengan tim ekonomi Orde Baru: Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Ali Wardhana, Prof. Sadli, dan Prof. Emil Salim yang dikenal dengan mafia Berkeley. Kemudian, ada pula ekonom CSIS, Prof. Panglaykim, Prof. Djisman Simanjuntak dan Prof. Hadisusastro.

Kiprah Sofyan Wanandi selanjutnya di tahun 1994 ingin menguasai KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia yang selama Orde Baru (1967-1994) dikuasai oleh pengusaha pribumi. Kelompok Prasetiya Mulya (Sofyan Wanandi, dkk.) sebelumnya disetujui Soeharto untuk mengambil alih saham Astra dari keluarga William Soerjadjaja karena kasus Bank Summa (putra tertuanya), Edward Soeryadjaya, yang mis-management di Grup Bisnis Summa.