Kemerdekaan Indonesia, Direbut dan Dipertahankan Ulama – Laskar Santri

Tidak itu saja, dari peranannya mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya, saat bangsa imperialis berusaha kembali bercokol di negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini, kekokohan akidah Islam negeri ini tetap aman. Padahal, kaum penjajah yang kafir itu tidak sekedar ingin menguasai tanah air, tetapi juga memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.

Selain itu, via kawalan para tokoh-tokoh Islam penerusnya, awal terbangunnya negeri ini sarat diwarnai nuansa dan norma-norma hukum Islami, diantaranya ketika perumusan Undang-undang Dasar 1945. Demikian pula penghuni salah satu negeri di Asia Tenggara ini, hingga enam puluh tiga tahun kemerdekaannya sebagian besar masih setia dengan syariat agamanya, berkat perjuangan pemimpin Islam tersebut. Kondisi ini yang harus kita upayakan agar tetap terjaga aman ilaa yaumil qiyamah.

Nah, di sinilah perlunya memahami kiprah mereka untuk memantapkan keyakinan bahwa Islam beserta para pemimpinnya di negeri Pancasila ini memiliki dan telah menyumbangkan andil cukup signifikan di masa perjuangan kemerdekaan, pembentukan negara berdaulat, hingga  liku-liku perjalanannya saat ini.

Untuk mengetahui kiprah tokoh-tokoh Islam di masa perjuangan kemerdekaan negeri kita, pada momentum enam puluh tiga tahun kemerdekaan RI kali ini, reporter Djoko Sujanto berhasil mewawancarai salah seorang mantan pejuang kemerdekaan yang turut berjihad bersama para ulama di wilayah Pasuruan, sebuah kota kecil di Jawa Timur.

Ini salah satu upaya CN yang ingin merefresh (menyegarkan / membangkitkan kembali, red) jiwa patriotisme dan nasionalisme generasi penerus anak bangsa, terutama dari kalangan muslimin. Mereka yang sama sekali tidak mengalami masa perjuangan kemerdekaan perlu mendapatkan gambaran itu.

Pemaparan kiprah perjuangan ini juga untuk menumbuhkan kembali semangat mencintai bangsa dan tanah air pada diri pemuda, meski dalam bentuk lain. Pasalnya, hasil pengamatan beberapa pakar sosiologi, akhir-akhir ini semakin tajam dekadensi (kemerosotan) jiwa patriotisme dan nasionalisme di kalangan sebagian besar pemuda Indonesia.

Mantan pejuang yang ditemui media kita ini adalah H. Satoeri (94 tahun), seorang purnawirawan ABRI P (Kepolisian) tahun 1975. Dari aktifitasnya malang melintang di medan perjuangan kemerdekaan, dia mendapatkan penghargaan dari Presiden RI berupa Bintang Gerilya Tahun 1963, Satya Lentjana PK Perang Kemerdekaan) I & II Tahun 1965, dan Satya Lentjana Jana Utama Tahun 1967. Meski sebenarnya dia tidak mengharapkannya.

Menurutnya, dirinya berjuang bukan mengharapkan penghargaan, namun semata ingin membebaskan bangsanya dari cengkeraman dan penindasan kejam tak berperikemanusiaan kaum kolonialis yang atheis (tak bertuhan). Dia amat merasakan pahit getirnya masa penjajahan.

“Dijajah itu sengsara nak, kita saat itu seakan mati dalam hidup. Bagaimana tidak, kita tidak bisa bergerak bebas, terkungkung dalam  suatu tempat yang amat terbatas, karena keserakahan penjajah. Serba kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup. Pokoknya susah sekali. Alhamdulillah, melihat keadaan itu tumbuh semangat dalam jiwa ini untuk berjihad,” paparnya dengan suara agak tersendat, karena napasnya acap kali tersengal mengiringi usianya yang semakin udzur.

Pria yang kini masih semangat hadir di majalisul khoir (majelis-majelis kebaikan) itu kemudian menceritakan secara kronologis kiprahnya menentang penjajahan bersama ulama dan rekan-rekan seperjuangannya. Beragam peristiwa dipaparkan secara detail dengan semangat yang menggebu.