Tragedi Muslim Uyghur Dalam Kajian Geopolitik

Eramuslim.com –  Menelaah gejolak Xinjiang dari sisi sentimen serta religi, memang aktual dan tidak keliru, selain muslim Uighur menjadi obyek diskriminasi, etnis minoritas, juga yang utama karena keberadaan kamp-kamp cuci otak (konsentrasi) oleh rezim komunis Cina terhadap mereka. Peristiwa itu memunculkan berbagai reaksi dan solidaritas di banyak negara berbasis sentimen, kemanusiaan dan HAM.

Akan tetapi, bila terlalu larut pada isu sentimen atau HAM saja, sebuah kajian agak sulit menggali benang merah dan pokok permasalahannya. Kajian cenderung dangkal, emosional, menyempit dan tidak total. Nanti narasinya cenderung mirip perang sipil Suriah dan/atau Rohingya, misalnya, dimana framing media mengecoh publik global seolah-olah gejolak politik di kedua negara tadi sekedar pertikaian antar-mazhab dalam agama di Suriah, atau konflik antara Muslim versus Budha di Myanmar. Padahal pokok masalahnya bukanlah itu.

Two ethnic Uighur women pass Chinese paramilitary policemen standing guard outside the Grand Bazaar in the Uighur district of the city of Urumqi in China’s Xinjiang region on July 14, 2009. A mosque was closed and many businesses were shuttered a day after police shot dead two Muslim Uighurs, as ethnic tensions simmered in restive Urumqi. AFP PHOTO / Peter PARKS (Photo credit should read PETER PARKS/AFP/Getty Images)

Sekali lagi, perspektif di atas memang tidak salah dan sangat aktual, karena terbukti — akibat framing sentimen menimbulkan ombak solidaritas dan gelombang protes di berbagai negara walau secara opini masih kontroversi karena Cina melakukan counter isu terang-terangan maupun secara senyap melalui proxy agents. Contoh di satu sisi, beberapa media menggebyarkan bahwa perlakuan rezim Cina adalah penindasan dan diskriminasi terhadap Uighur, sedang di sisi lain, ada framing bahwa Uighur dinilai sebagai kelompok separatis yang pantas diperangi. Masih pro kontra.