Bencana Virus Corona di Indonesia: Ketika Suara Orang Berilmu Tak Didengar

Oleh karenanya, para peneliti FKM UI menyarankan pemerintah segera mengambil kebijakan karantina wilayah.

“Karantina Pulau Jawa. Batasi mobilitas di dalam pulau. Batasi mobilitas penduduk di dalam pulau dan antar-pulau,” jelas Pandu Riono, PhD., dokter dan staf pengajar FKM UI yang ikut menyusun skenario pemodelan tersebut. “Tidak boleh ada perpindahan antar-provinsi atau antar-kabupaten di pulau itu. Dan lakukan segera mungkin, karena seharusnya sudah dari minggu lalu.”

Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyadari bahwa jumlah kasus virus corona di Indonesia tidaklah sedikit. Pada Maret 2020, juru bicara pemerintah untuk penanganan kasus virus corona, Achmad Yurianto, sempat mengungkap bahwa kemungkinan ada 700.000 orang di Indonesia yang berpotensi terinfeksi virus tersebut.

Sayang, pemerintah lebih memilih untuk menerbitkan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai cara untuk menanggulangi wabah virus corona SARS-CoV-2. Sejumlah ahli hukum dan pengamat menilai bahwa PP tersebut tidak mencerminkan progres pemerintah untuk mencegah penularan infeksi virus corona yang lebih masif di Indonesia.

“Kesan PP PSBB dikeluarkan khusus sekadar formalitas semata terlalu kentara,” menurut catatan Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia.

Dalam catan tersebut, PSHTN UI menyoroti 5 kekurangan PP PSBB dalam menuntaskan masalah. Salah satu poin lain yang juga disorot oleh mereka adalah kurangnya paparan pelaksanaan PSBB karena PP tersebut hanya detail mengatur mekanisme pengajuan PSBB dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Adapun Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, menduga pemerintah tak mau menerapkan karantina wilayah karena enggan menanggung biaya hidup rakyatnya. Sebab, UU Kekarantinaan Kesehatan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah jika karantina wilayah berlaku. Itu artinya, Roy bilang, pemerintah ingin membuat kebijakan gratisan.

Inefisiensi kebijakan pun membuat sejumlah ilmuwan dunia mengkhawatirkan kondisi Indonesia di tengah wabah corona. Sebagai contoh, dosen ahli politik Asia Tenggara di Griffith University, Lee Morgenbesser, menganalogikan Indonesia sebagai ‘tong mesiu’.

“Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling saya khawatirkan. Mereka adalah tong mesiu. Populasinya sangat besar dan birokrasi yang tidak efisien,” kata Morgenbesser, dikutip dari The Sydney Morning Herald.

Sejumlah ahli kesehatan juga menyoroti kurangnya upaya preventif penyebaran virus corona yang dibuat pemerintah.

Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, misalnya, menilai bahwa pemerintah terlampau fokus pada upaya kuratif (penyembuhan) ketimbang antisipatif. Padahal, pencegahan penyebaran diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah pasien COVID-19 tidak melebihi kapasitas fasilitas kesehatan (faskes) yang ada.

“Membangun rumah sakit darurat, membeli APD (alat pelindung diri), membeli obat yang belum ketahuan efektivitasnya, itu upaya kuratif. Sementara peningkatan kesadaran masyarakat atas COVID-19 sangat terbatas,” katanya.

Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 43 negara yang diriset, Indonesia berada di peringkat 41 dalam hal ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk. Posisi itu hanya menempatkan Indonesia lebih baik ketimbang India dan Kosta Rika.

Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 yang dirilis Kemenkes, menunjukkan Indonesia punya 1,2 ranjang tiap 1.000 penduduk. Menurut rujukan tersebut, standar WHO adalah 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk.

Dengan demikian, meskipun masih kalah jauh rasionya dibandingkan negara lain, Indonesia sudah memenuhi standar secara umum. Masalahnya, persebaran tempat tidur yang tersedia itu tidak merata diseluruh provinsi, dengan 8 provinsi yang rasionya berada di bawah standar WHO yakni Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81) dan NTB (0,71).

Pertanyaan mengenai kemampuan faskes Indonesia untuk menampung pasien COVID-19 sangat relevan di tengah isu arus mudik yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Di tengah ketakutan tertular virus corona dan ketidakpastian ekonomi di Jakarta, masyarakat lebih memilih untuk balik ke kampung halaman.

Menariknya, komunikasi pemerintah terhadap isu arus mudik terkesan ambigu dan sulit dipahami. Pada Kamis, 2 April lalu, misalnya, Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rahman, membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan mudik dengan syarat isolasi diri selama 14 hari. Pernyataan tersebut tak berlaku lama karena di sore harinya, Fadjroel meralat bahwa pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudik.

Terbaru, dalam ratas virtual Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Presiden Jokowi sempat menyinggung bahwa kondisi cuaca di Indonesia turut mempengaruhi perkembangan virus corona. Namun, dia tak merinci konteks serta kaitan antara cuaca dan virus SARS-CoV-2.

“Kalau kita lihat dengan musim yang ada sekarang, saya kira cuaca juga sangat mempengaruhi berkembangnya COVID-19 ini,” ucap Jokowi saat membuka ratas online, Kamis (2/4).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, juga menyebut bahwa suhu punya pengaruh terhadap virus corona. Menurutnya, Indonesia bakal mendapatkan keuntungan dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tinggi pada bulan April.

“Indonesia diuntungkan dengan temperatur tinggi pada April. Ini humidity (kelembaban) tinggi buat COVID-19 relatif lemah daripada tempat lain,” kata Luhut kepada wartawan, Selasa (31/3).  “Tapi kalau kita social distancing tidak juga ketat, terlalu banyak berkumpul ramai-ramai, ya, enggak berlaku tadi keuntungan kita tadi dari panas atau humidity tadi,” ungkapnya.

Pernyataan tersebut benar dalam hal daya tahan virus corona. Sejumlah penelitian menyebut bahwa suhu udara berdampak pada masa hidup virus tersebut.

Meski demikian, penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa suhu cuaca dan kelembaban tidak mempengaruhi tingkat penyebaran kasus SARS-CoV-2 di wilayah tropis seperti Indonesia.

Berbeda dengan Harvard, laporan terbaru dari tim Gabungan BMKG dan UGM menunjukkan beberapa riset sebelumnya menyebut bahwa iklim dapat menjadi faktor pendukung dalam menekan kasus wabah virus corona. Namun, faktor alam tak akan punya pengaruh banyak jika intervensi pemerintah untuk menerapkan pembatasan sosial yang tegas tidak dilakukan secara serius.

“Akhirnya laporan tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.