BPIP Ngaku Tak Pernah Ingin Ganti Salam 5 Agama dengan Salam Pancasila

“Sekarang kita ambil contoh, ada hadis kalau anda sedang berjalan dan ada orang duduk, maka ucapkan salam. Itu kan maksudnya adaptasi sosial. Itu di jaman agraris. Sekarang jaman industri dengan teknologi digital. Sekarang mau balap pakai mobil, salamnya pakai apa? Pakai lampu atau klakson. Kita menemukan kesepakatan-kesepakatan bahwa tanda ini adalah salam. Jadi kalau sekarang kita ingin mempermudah, seperti dilakukan Daud Jusuf, maka untuk di public service, cukup dengan kesepakatan nasional, misalnya Salam Pancasila. Itu yang diperlukan hari-hari ini. Daripada ribut-ribut itu para Ulama, kalau kamu ngomong Shalom berarti kamu jadi orang Kristen,” kata Yudian.

“Wong Nabi Muhammad SAW saja mendoakan raja Najasi yang Kristen saat wafat. Ada unsur kemanusiaan. Nah kita juga begitu, ngomong Shalom tidak ada unsur teologisnya. Wong kita sampaiukan (salam) supaya kita damai. Maaf, bagi orang Kristen mengucapkan salam juga tidak menjadi bagian teologis. Itu kode nasional yang tidak masuk dalam akidah. Kalau bisa dipakai tidak masalah.” pungkas Yudian.

Dari pernyataan Yudian seperti tersebut di atas, BPIP menegaskan tidak ada satupun narasi yang semata menyatakan penggantian assalamualaikum dengan salam Pancasila.

Salam Pancasila sebagai salam kebangsaan diperkenalkan untuk menumbuhkan kembali semangat kebangsaan serta menguatkan persatuan dan kesatuan yang terganggu karena menguatnya sikap intoleran.

“BPIP tidak pernah mengusulkan penggantian Assalamualaikum dengan Salam Pancasila. Yang disampaikan adalah mengenai kesepakatan-kesepakatan nasional mengenai tanda dalam bentuk salam dalam pelayanan publik, dalam kaitan ini kesepakatannya adalah Salam Pancasila,” kata BPIP.

Asal mula salam Pancasila

BPIP menjelaskan, salam Pancasila pertama kali dikenalkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP di hadapan peserta Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor tanggal 12 Agustus 2017.