Dunia Tergantung Indonesia

Kedua, sumber raw material berbagai industri. Perbandingannya, apabila Irak, atau Arab Saudi, dan lain-lain cuma punya minyak dan gas, kita memiliki semuanya terkait pangan dan energi termasuk industri pariwisata dan lain-lain;

Ketiga, pasar nan potensial karena merupakan negara berpenduduk terbesar ke-4 plus muslim terbesar di dunia;

Keempat, tempat memutar kembali kapital (investasi) atas modal yang telah terakumulasi;

Kelima, negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, beriklim tropis (dua musim), serta curah hujannya tinggi.

Ke-5 aspek di atas, bukanlah fiksi bukan pula opini, namun itulah garis besar atas realitas geopolitik Indonesia. Beberapa pertanyaan out of the box pun muncul:

(1) seandainya kita menutup diri dari dunia luar sebagaimana Cina tempo doeloe, apakah bangsa Indonesia bisa terus langgeng?

(2) seandainya Indonesia diserang secara militer seperti Suriah dibombardir oleh Amerika, Perancis dan Inggris, siapa yang bakal dirugikan?

Ya, ya! Tempat putar kapital niscaya lari entah kemana, lintasan SLOC akan terhenti, distribusi supplay and demand akan berhenti, suplai raw material bakal macet, buntu, dan lain-lain. Inilah sekilas fiksi bahwa dunia sejatinya tergantung Indonesia. Tinggal bagaimana bangsa ini memberdayakan takdir geopolitik dimaksud. Misalnya, bila dikeluarkan TAP MPR atau minimal UU untuk mengutip fee dalam bentuk rupiah bagi setiap kapal yang melintas di perairan kita, niscaya devisa bakal gendut dan rupiah tak bakal melemah karena dicari banyak negara. Kenapa kita sekarang justru merengek-rengek kepada dunia? (tgr)

Oleh M Arief Pranoto,

Penulis adalah Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)